kronolgis note: berawal dari postingan duladi diwall beberapa hari yang lalu yang berkali-kali dipostkan dengan topik yang sama nam...
kronolgis
note: berawal dari postingan duladi diwall beberapa hari yang lalu yang
berkali-kali dipostkan dengan topik yang sama namun dipelintir ulang
dengan sedikit kata-kata konyol dari kesesatan logika yang
disengaja-ngaja untuk membangun opini negatif kepada publik dijejaring
sosial.indra sempat merespon salah satu topik yang sama namun setelah
indra kroscek lagi sekarang entah topik tersebut hilang entah
kemana....ketawa dikit dulu ya.....!!wkwkwkwkwkkkwkwkwkwkwkwkwkwkwwk
oke..... tanpa panjang kali lebar Penulis akan menjawab argumen konyol duladi :|
Penulis akan jawab dengan jawaban dari note bang id amor dalam catatannya:
- http://www.facebook.com/games#!/notes/id-amor/menjawab-pertanyaan-tentang-qs-70al-maarij-40/4996222679712.tambahan dari sekian rujukan;
- dari kata-kata yang berfungsi sebagai perangkat sumpah
- Wawu
Seperti firman Allah ta'ala :
Maka Demi Rabb langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah
benar-benar (akan terjadi)" (QS. Adz-Dzariyaat : 23).
Dengan masuknya huruf wawu – sebagai huruf qasam – maka
'amil (pelaku)nya wajib dihapuskan. Dan setelah wawu harus diikuti
dengan isim dlahir.
- Ba' .
Seperti dalam firman Allah ta'ala :
"Aku bersumpah dengan hari kiamat" (QS. Al-Qiyaamah : 1).
Dan dengan masuknya huruf Ba' ini boleh disebutkan 'amil-nya
sebagaimana contoh di atas, dan boleh juga menghapusnya, sebagaimana
firman Allah ta'ala tentang iblis :
"(Iblis) berkata : Maka Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan
mereka semuanya" (QS. Shaad : 82).
Setelah huruf Ba' boleh diikuti isim dlahir sebagaimana telah
dicontohkan di atas, dan boleh juga diikuti oleh isim dlamir,
sebagaimana perkataan ;
"Allah Rabbku, dengan-Nya aku bersumpah sungguh Dia akan menolong orang-orang beriman"
- Ta
Seperti dalam firman Allah ta'ala :
"Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang kamu
ada-adakan" (QS. An-Nahl : 56).
Dengan masuknya huruf Ta' ini, 'amil (pelaku)-nya harus
dihapuskan dan tidak bisa diikuti sesudahnya kecuali isim jalalah (nama
Allah), yaitu Allah atau Robb.. Sebagaimana dalam perkataan :
"Demi Rabb Ka'bah, sungguh aku akan berhaji insyaAllah"
Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam bih (sesuatu yang dijadikan dasaratau landasan sumpah) itu disebutkan, sebagaimana pada contoh-contoh
terdahulu. Dan kadang-kadang dihapus dengan `amil (pelaku)-nya.
Bentuk yang seperti ini banyak sekali, misalnya dalam firman Allah
ta'ala :
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang
kamu megah-megahkan di dunia itu)" (QS. At-Takaatsur : 8).
Pada dasarnya, kebanyakan al-muqsam `alaih (sesuatuyang disumpahkan)
disebutkan. Seperti dalam firman Allah :
Katakanlah : "Tidak demikian, demi Rabbku, benar-benar kamu akan
dibangkitkan" (QS. At-Taghaabun : 7)
Pengertian serupa itulah yang dapat disimak dari literatur Ulum al-Qur’an sebagai aqsam al-qur’an(sumpah-sumpah Al-Qur’an). Istilah ini mesti dibedakan dengan istilah al-aqsam fi al-qur’an (sumpah-sumpah dalam Al-Qur’an), sebab untuk istilah yang pertama, yang menjadi subyek sumpah (al-muqsin)adalah Tuhan, sedangkan untuk istilah kedua mengandung pengertian yang lebih umum. Subyeknya bisa Tuhan, bisa pula yang lainnya.
Menurut hasil pengamatan Jumhur ulama,
Allah bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebutkan zat-Nya, pada 8
(delapan) tempat yaitu : QS. Al-Nisa’ (4): 65 ; QS. Al-Hijr (15): 92 ;
QS. Maryam (19): 68 ; QS. Al-Dzaiyat (51): 23 ; QS. Al-Ma’arij (70): 40 ;
QS. Yunus (10): 53 ; QS. Saba’ (34): 3 ; dan QS al-Taghabun (64): 7.
Ini merupakan hasil kesimpulan dari pendapat-pendapat yang telah
dikemukakan oleh para ulama tentang sumpah-sumpah Tuhan yang menggunakan
zat-Nya. Dalam hal ini mereka berbeda pendapat, dan perbedaan itu
terjadi selain karena adanya kekeliruan dalam menyebutkan ayat-ayat yang
termasuk kategori sumpah Tuhan dengan menyebut zat-Nya, juga karena
terdapat segi perbedaan mereka dalam masalah lain, misalnya perbedaan
dalam menyoroti posisi surat Al-Syams (91): 5-7.
Perbedaan pendapat ulama juga terjadi
dalam konteks sumpah Tuhan dengan menyebutkan makhluk-Nya. Namun,
perbedaan mereka disini lebih sederhana, hanya menyangkut perincian pada
obyek-obyek yang digunakan oleh Tuhan dalam bersumpah. Sebagian ulama
memberikan perincian sedangkan yang lainnya tidak memberikan
perinciannya.
Muhammad Bakr Isma’il misalnya,
menyebutkan beberapa obyek yang dijadikan oleh Tuhan sebagai obyek
sumpah-Nya, yaitu: sumpah Tuhan dengan Nabi-Nya; dengan Malaikat; dan
dengan menyebut angin (1991 : 365-366). Tetapi tampaknya langkah seeprti
ini agak sulit, selain karena terlalu banyak macam obyek yang digunakan
untuk bersumpah, juga karena adanya perbedaan dalam menafsirkan
beberapa obyek tertentu dalam Al-Qur’an yang digunakan untuk bersumpah.
Misalnya obyek al-Nazi’atdalam QS. Al-Nazi’at (79): 1. sebagian
ulama menafsirkan obyek ini dengan ”Malaikat-malaikat pencabut ruh”,
sedangkan ulama lainnya menafsirkannya dengan ”kuda-kuda yang
menyerang”. (lihat, Bint al-Syathi’, 1977 juz I : 123)
Istilah Sumpah Dalam Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur’an ada tiga macam term yang lazim diterjemahkan dengan sumpah secara umum. Ketiga term yang dimaksud adalah al-qasam, al-hilf, dan al-yamin.
Secara leksikal term-term ini memiliki makna yang sama dan
masing-masing dari term itu dapat ditafsirkan dengan lainnya. Dalam Lisan al-’Arab misalnya ditemukan pernyataan-pernyataan : al-halif wa al-hilf qasam lughatan (secara bahasa, al-halif dan al-hilf adalah bermakna qasam (sumpah), atau al-qasam huwa al-yamin (al-qasamtiada lain adalah al-yamin), dan al-yamin huwa al-halif wa al-qasam (bahwa al-yamin adalah al-halif danal-qasam) (lihat, Ibn Manzur, t. th. Juz X : 397, juz XV : 381, dan juz XVII : 356).
Meskipun memiliki makna yang sama dari
aspek leksikal, tetapi dari aspek etimologi (pengertian menururt
asal-usul kata), ketiga term tersebut memiliki spesifikasi dan makna
dasar yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Menururt Abu Hilal
al-Askariy, bahwa antara term al-qasam dengan term al-hilf terdapat perbedaan kandungan makna. Lebih jauh ia menjelaskan :
Perbedaan al-qasam dan al-hilf adalah al-qasam memiliki makna yang lebih luas dari pada al-hilf, sebab makna pernyataan ”Uqsimu bi Allah (saya bersumpah dengan nama Allah) ialah bahwa orang yang bersumpah itu telah memiliki qasam (bagian) dengan nama Allah. Qasam di
sini yang dimaksud ialah bagian. Maksudnya, bahwa harta apa saja yang
ia katakan dalam pernyataan sumpahnya telah menjadi bagian
pemeliharaan-Nya dan karena itu ia menolak bermusuhan dengan orang lain
disebabkan oleh harta tersebut. Sedangkan al-hilf berasal dari pernyataan ”saif halif”, artinya pedang yang tajam atau suka memotong. Maksudnya, bahwa orang yang bersumpah dengan al-hilf berarti
ia telah memutuskan untuk tidak bermusuhan dengan orang lain disebabkan
harta itu dengan mengatasnamakan Allah. (lihat, Abu Hilal al-Askariy,
1973 : 47).
Dari penjelasan ini kita melihat bahwa menurut Abu Hilal, orang yang bersumpah dengan menggunakan term al-qasam berarti
ia telah menyatakan bahwa sesuatu yang ia nyatakan dalam sumpahnya
telah menjadi miliknya. Sebab itu, dengan nama Allah, ia menegaskan
tidak mau bermusuhan dengan orang lain untuk memperebutkannya. Sedangkan
sumpah dengan menggunakan term al-hilf, hanya terkandung satu pengertian, yaitu ketidak inginan bermusuhan dengan orang lain atas nama Allah.
Di dalam Al-Qur’an, term al-qasam dan al-hilf juga
ditemukan penggunaannya. Kedua term tersebut, dalam Al-Qur’an, umumnya
diungkap dalam bentuk kata kerja. Hal ini tampak menunjukkan bahwa kedua
term tersebut digunakan oleh Al-Qur’an untuk menunjukkan perbuatan atau
kegiatan bersumpah.
Memang Al-Qur’an menggunakan kedua term
tersebut dalam pengertian yang berbeda. Bint al-Syathi’ sangat berjasa
dalam membuktikan perbedaan ini. Menurut pendapatnya, kata aqsama biasa disamakan dengan kata halafa yang
artinya bersumpah. Keduanya sangat berbeda. Berdasarkan survei deduktif
dari seluruh tempat di dalam Al-Qur’an yang dilakukannya terungkap
bahwa kataaqsama digunakan untuk jenis sumpah sejati yang tidak pernah diniatkan untuk dilanggar, sementarahalafa selalu digunakan untuk menunjukkan sumpah-sumpah palsu yang suka dilanggar (Bint al-Syathi’, 1997, juz I : 167-168).
Makna Sumpah Allah
Selain bersumpah dengan zat-Nya, di
dalam Al-Qur’an, Tuhan pun bersumpah dengan menggunakan sebagian dari
makhluk-Nya sebagai obyek-obyek sumpah, seperti waktu, tempat,
Al-Qur’an, dan benda-benda tertentu. Jika yang menggunakan sumpah (al-muqsim) adalah
manusia, maka sumpah yang menggunakan obyek makhluk Tuhan, terlarang,
karena bisa membawa pada kekufuran atau kemusyrikan. Dalam sebuah
hadits, Rasulullah menegaskan : Man halafa bighair Allah faqad asyraka(barang
siapa yang bersumpah dengan (menyebut) selain Allah, maka ia musyrik).
Atas dasar hadits tersebut, di dalam bersumpah, seseorang dilarang
menyebutkan muqsam bih selain Allah SWT.
Seperti dijelaskan sebelumnya, manusia
biasanya bersumpah dengan sesuatu yang diagungkan dan dihormati, yakni
sesuatu yang membuatnya bisa ditimpa suatu akibat buruk apabila ia
melanggar sumpahnya. Hal itu tidak mungkin terjadi pada sumpah-sumpah
Tuhan. Dengan sumpah-Nya Tuhan tidak akan menerima akibat apa pun. Kita
berlindung kepada Allah dari adanya anggapan yang keliru, yaitu bahwa
Allah bisa menerima akibat-akibat tertentu disebabkan oleh sumpah-Nya.
Menurut Muhammad Abduh, sebenarnya Allah tidak sedikit pun perlu
menguatkan pernyataan-Nya dengan bersumpah dengan sesuatu yang merupakan
produk kuasa-Nya (makhluk-Nya) sendiri. Hal ini mengingat tak ada satu
pun dalam wujud ini yang laik dihargai apabila diperbandingkan dengan
penghargaan yang seharusnya diberikan kepada-Nya (Muhammad Abduh, tafsir
Juz ’Amma, t. th, h. 9-10).
Akan tetapi, mengapa di dalam Al-Qur’an
dijumpai sumpah-sumpah Tuhan yang menggunakan obyek dari makhluk-Nya?
Pertanyaan ini muncul terutama disebabkan oleh adanya beberapa hadits
Nabi yang mengandung larangan kepada manusia bersumpah dengan selain
nama-Nya karena akan membawa pada kemusyrikan. Lalu, apakah antara
Al-Qur’an dan al-Hadits terjadi kontradiksi?
Para ulama telah beruasaha melakukan
penyelesaian dalam rangka menghilangkan adanya kesan pertentangan antara
keduanya. Pertama, bahwa pada sumpah-sumpah yang menggunakan muqsam bih berupa makhluk, seharusnya ada kata yang dibuang, yaitu kata rabb, sehingga yang dimaksud dengan, misalnya sumpah Tuhan wa al-Tin (Demi buah Tin) sebenarnya adalah wa rabb al-Tin (Demi
Tuhan buah Tin); kedua, bahwa nama-nama makhluk yang digunakan Tuhan
dalam sumpah-Nya itu merupakan sesuatu yang amat penting, mengagumkan,
dan mendapatkan perhatian besar bangsa Arab, sehingga mereka pun
menggunakannya dalam bersumpah. Al-Qur’an hadir dengan membawa cita rasa
sastera, wawasan pengetahuan dan tradisi mereka, maka Tuhan pun
menjadikan benda-benda itu sebagai obyek sumpah; dan ketiga, obyek yang
digunkan dalam bersumpah harus merupakan sesuatu yang diagungkan atau
disucikan dan derajatnya lebih tinggi dari yang menggunakan, sedangkan
kenyataannya tidak ada lagi sesuatu yang lebih tinggi dari Tuhan. Maka,
ia dapat saja dengan bebas menggunakan segala sesuatu sebagai obyek
sumpah, baik nama diri atau zat-Nya maupun makhuk-Nya (alSuyuthi, t. th.
, juz II : 134, juga al-Zarkasyi, t. th. , juz III : 41-42).
Jadi, meskipun terdapat sumpah-sumpah
Tuhan dalam Al-Qur’an yang menggunakan makhluk-Nya sebagai obyek sumpah,
tetapi manusia tetap dilarang menggunakan hal yang sama. Ketentuan
sepeerti itu hanya berlaku bagi Tuhan. Tuhan bisa saja melakukan apa pun
yang dikehendaki-Nya, termasuk bersumpah dengan zat-Nya atau dengan
ciptaan-Nya. Pertanyaannya adalah mengapa Tuhan hanya memilih dan
menetapkan sebagian saja dari ciptaan-Nya, tidak semuanya, dan mengapa
obyek-obyek tertentu yang dipilih, bukan yang lain? Tentu saja hal
tersebut mempunyai tujuan dan maksud tertentu. Karena itu, pertanyaan
lanjutannya yang perlu segera mendapatkan jawaban adalah apakah hikmah
di balik pilihan Tuhan terhadap sebagian makhluk-Nya untuk digunakan
sebagai obyek dalam sumpah-Nya?
Ibn Abi al-Ishba, juga Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan : wa aqsamuhu ta’ala bi ba’dhi makhluqatihi dalil ’ala azhim ayatih (lihat,
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, t. th : 3) = bahwa sumpah-sumpah Tuhan dengan
(menyebut) sebahagian makhluknya menunjukkan bahwa makhluk tersebut
termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya yang penting/agung. Dalam kata lain,
hal yang disebut dalam posisimuqsam bih itu memang sesuatu yang
amat penting yang perlu diperhatikan dan di apresiasi oleh manusia yang
merupakan mitra bicara Tuhan dalam sumpah-Nya.
Dengan demikian, manakala Tuhan bersumpah, misalnya dalam QS. Al-Syams/ 91 : 1, wa al-Syamsi,
maka terjemahan ungkapan tersebut yang paling tepat adalah ”alangkah
pentingnya matahari itu”, bukan ”demi matahari”. Pemahaman serupa itu
diambil sejalan dengan maksud penyebutannya oleh Tuhan dalam sumpah-Nya
itu, yaitu sebagai ”dalil ’ala azhim ayatih” (dalil bahwa ia
termasuk ayat Tuhan yang agung/penting). Sasarannya adalah agar manusia
benar-benar dapat menangkap makna pentingnya keberadaan matahari itu
dalam keseluruhan tata kehidupan makhluk seluruhnya, khususnya manusi.
Dalam langkah selanjutnya, manusia diharapkan mampu melakukan penelitian
untuk mengetahui secara akademik di mana letak atau posisi pentingnya
keberadaan matahari. Sampai sekarang, sudahkah umat Islam mampu
menangkap makna penting dari keberadaan matahari? Sudah mampukah umat
Islam menangkap dengan tepat makna pentingnya kata ”al-’Ashr” yang digunakan sebagai muqsam bih dalam sumpah Tuhan pada QS. Al-’Ashr/103, ayat 1 ? Sudahkah umat Islam memahami keseluruhan muqsam bih dalam
sumpah-Nya yang menyebutkan makhluk-makhluk-Nya ? Wallahu a’lam. Namun
seyogianya umat Islam, terutama para pakar Al-Qur’an, memahami makna
pentingnya muqsam bih-muqsam bih dalam sumpah Tuhan itu, agar mereka mampu menangkap yang lebih dalam lagi, yaitu ”wa aqsamuhu ta’ala bi ba’dhi makhluqatihi tufidu li’uzhmat al-Khaliq (bahwa
sumpah-sumpah Tuhan dengan menyebutkan sebagian makhluk-Nya membawa
faedah pada pengagungan Tuhan Maha Pencipta). Inilah makna terpenting
dari sumpah-sumpah Tuhan yang menggunakan makhluk ciptaan-Nya.
Muhammad Abduh berkomentar, sekiranya
kita meneliti kembali sumpah-sumpah Tuhan dalm Al-Qur’an, akan tampak
bahwa benda-benda yang digunakan Tuhan bersumpah mestilah merupakan
hal-hal yang diremehkan karena ketidaktahuan akan faedahnya dan
ketidakmampuan dalam menangkap ’ibrah(pelajaran) yang
dikandungnya, atau disebabkan oleh kebutaan terhadap kandungan hikmah
Allah dalam ciptaan-Nya, atau terjadi persepsi yang keliru terhadapnya,
sehingga melampaui kebenaran yang telah ditetapkan oleh-Nya terhadapnya
(Muhammad Abduh, op.cit. h. 10).
cermin untuk duladi:
Ibrani 6:13 Sebab ketika Allah memberikan janji-Nya kepada Abraham, Ia bersumpah demi diri-Nya sendiri, karena tidak ada orang yang lebih tinggi dari pada-Nya,
ויאמר יהוה אל השטן יגער יהוה בך השטן ויגער יהוה בך הבחר בירושלם הלוא זה אוד מצל מאשwy’mr yhwh ’l-hsshṭn yḡ‘r yhwh bḵ hssṭn wyḡ‘r yhwh bk hbḥr bršlm hlw’ zh ’ḏ mṣṣl m’eš:3:2 And the LORD said unto Satan, The LORD rebuke thee, O Satan; even the LORD that hath chosen Jerusalem rebuke thee: [is] not this a brand plucked out of the fire?3:2 Lalu berkatalah TUHAN kepada Iblis itu: “TUHAN kiranya menghardik engkau, hai Iblis!TUHAN yang memilih Yerusalem, kiranya menghardik engkau! Bukankah dia ini puntung yang telah ditarik dari api?”
dul...wauw dialkitab juga ada nih....!! cepat ngaca' deh..ha..ha..ha....
kesimpulan dan penutup
dul sumpah tersebut dapat dipahami bahwa
sumpah adalah suatu penegasan yang sungguh-sungguh yang biasanya
dikaitkan dengan akibat yang harus ditanggung oleh orang yang menyatakan
sumpah, jika ternyata sumpahnya itu tidak benar atau dilanggar. Resiko
sumpah itu tidak mungkin terjadi pada konteks sumpah-sumpah Tuhan. Pada
sumpah Tuhan tidak mungkin dihubungkan dengan unsur resiko, sebagaimana
hal itu dapat terjadi pada sumpah manusia, sebab Tuhan adalah pencipta
segala sesuatu yang ada di alam ini, tak ada satu wujud pun yang berada
di atas Tuhan. Oleh karena itu, jika Tuhan bersumpah dengan waktu,
tempat atau benda tertentu dari sebagian makhluk-Nya, maka Tuhan tak
merasa takut akan menanggung resiko tertentu yang berasal dari
ciptaan-Nya. Hal itu mustahil terjadi, bahkan jangan sampai terlintas
dalam benak pemikiran manusia anggapan bahwa Tuhan pun menghadapi resiko
kalau Tuhan melanggar sumpah-Nya. Dalam akidah Islam, tidak benar
anggapan serupa itu, mengingat Tuhan adalah zat Yang Maha Sempurna, dan
tak mungkin Tuhan bersumpah tidak benar, juga tak mungkin Tuhan
melanggar sumpah-Nya, bahkan Tuhan seharusnya diyakini tidak mengingkari
janji-Nya. Semua yang ditegaskan-Nya dalam Al-Qur’an adalah benar dan
mengandung kebenaran.
Tampaknya tidak dijumpai definisi
tentang sumpah Tuhan, tetapi berdasarkan definisi sumpah yang telah
disebutkan sebelumnya dan dengan memperhatikan sumpah-sumpah Tuhan dalam
Al-Qur’an dan dalam berbagai rujukan tentang hal tersebut, kiranya
dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan sumpah Tuhan adalah
”penetapan kepastian dan penegasan Tuhan dengan mempergunakan
lafal-lafal tertentu serta obyek-obyek tertentu pula, baik dengan
menyebut zat-Nya sendiri maupun dengan menyebut makhluk-Nya, yang
menarik perhatian mitra bicara (mukhathab) untuk mengarahkan
Demikianlah kajian singkat sumpah Tuhan
dalam Al-Qur’an yang pada garis besarnya terdapat dua kategori sumpah.
Pertama, kategori sumpah dengan menyebutkan zat-Nya (yaitu kata rabb)
yang terdapat dalam delapan tempat. Kategori kedua, adalah sumpah Tuhan
dengan menyebutkan sebahagian makhluk-Nya yang terdapat dalam banyak
tempat dalam Al-Qur’an, baik dengan menyebut Nabi, Malaikat, Al-Qur’an
tempat-tempat tertentu yang dimuliakan maupun waktu-waktu penting yang
ditonjolkan. Sumpah-sumpah Tuhan dengan menyebutkan zat-Nya bermakna
bahwa Tuhan lebih menonjolkan sisi rububiyyah-Nya
(Kemahabaikan-Nya), sedangkan sumpah-sumpahNya dengan menyebut sebagian
makhluk-Nya menunjukkan bahwa makhluk-makhluk-Nya itu sangat penting.
COMMENTS