(Beberapa Faktor Terjadinya Ikhtilaf ‘Ulama) Pendahuluan Terjadinya ikhtilaf di kalangan ‘ulama merupakan suatu kem...
(Beberapa
Faktor Terjadinya Ikhtilaf ‘Ulama)
Pendahuluan
Terjadinya ikhtilaf di kalangan ‘ulama merupakan suatu
kemestian yang bersifat syar’i, hal ini karena banyak sekali
faktor-faktor yang mempengaruhi suatu istinbath hukum. Ikhtilaf bahkan
juga terjadi antar para sahabat; antara Abu Bakar dan ‘Umar saat memerangi ahlu
riddah, antara ‘Utsman dan Ibnu Mas’ud dalam menjama’ sholat saat
haji, antara ‘Ali dan Aisyah, Mu’awiyyah dalam memerangi bughat pembunuh
‘Utsman, antara Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah dalam hal apakah Nabi telah melihat
Allah dll.
Akan
tetapi tentu saja sikap taslim sahabat terhadap Al-Quran dan As-Sunnah
telah menjadi jembatan yang kokoh bagi persatuan, sehingga ikhtilaf yang
terjadi tidak membawa kepada perpecahan.
Masalah
ikhtilaf ini tentu saja akan terus berlanjut seiring dengan berputarnya
waktu/zaman atas berbagai masalah umat yang semakin kompleks, yang karenanya
dibutuhkan istinbath hukum dalam rangka memelihara maslahat kehidupan
manusia.
Dalam
hal ini, ada 3 sikap manusia dalam menyikapi ikhtilaf;
أنواع الاختلاف على الصفة (pembagian Ikhtilaf berdasarkan sifat
perbedaan)
·
(الإفراط) yang terlalu
ketat; hal ini dilakukan oleh mereka yang terlalu fanatik terhadap salah satu
mazhab atau kelompok (ekslusif) dengan tidak mempertimbangkan hujjah
kelompok lain dan menimbangnya berdasarkan ilmu syari’ah.
·
(التفريط) yang terlalu longgar; hal ini
dilakukan oleh mereka yang memandang bahwasanya berbagai perbedaan itu sudah
suatu kemestian kauny (bedakan dengan kemestian syar’i) yang
karenanya dibolehkan bagi siapa saja mengambil istinbath hukum dari
berbagai pemikiran yang ada (inklusif), pemikiran ini terkenal dengan istilah
Islam Liberal, hal ini bahkan cenderung hingga pembenaran/penyamaan
status antara Islam dengan agama-agama lain, bahkan lebih cenderung pada
pelecehan terhadap agama Islam.
·
(الوسط) yang bersifat moderat; hal ini
dilakukan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu menimbang setiap suatu masalah
berdasarkan tingkat kekuatan hujjah / argumentasi yang dilandasi oleh Al-Quran,
As-Sunnah, Qoul para Sahabat, Imam Mazhab, kaidah ushul. Sehingga di mana pun
kebenaran berada maka mereka adalah orang-orang yang pertama bertaslim/berserah
diri atasnya, mereka tidak mengagungkan suatu pendapat Imam mazhab melebihi
Al-Quran dan Sunnah (artinya jika ucapan para Imam mazhab bertentangan dengan
Al-Quran dan As-Sunnah maka mereka meninggalkan pendapat imam mazhab dan
kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah), tidak juga meremehkan para Imam mazhab
dengan mengambil istinbath hukum yang tidak mempunyai dukungan
penafsiran dari para Imam mazhab/Imam muhaqqiq/Imam fatwa.
Pada
sisi lain ikhtilaf dapat pula dibagi pada sisi fikrah/perspektif;
أنواع الاختلاف على الفكرة / النظارة (Pembagian ikhtilaf berdasarkan
fikrah/perspektif)
·
أهل الشريعه و الفقه
Yaitu
orang-orang yang sibuk menggali suatu kebenaran dalam hukum-hukum Allah dari
sisi lahiriyyah berdasarkan apa yang diperintahkan, dilakukan dan ditetapkan
Nabi, serta apa-apa yang difahami para sahabat dan penafsiran Imam
mazhab/muhaqqiq/fatwa kaum muslimin, seperti tata cara sholat, haji, mu’amalah,
mujahadah, nazar, adhiyyah dll
·
أهل الكلام و الفلاسفة
Yaitu
orang-orang yang sibuk menggali hikmah, tujuan syari’ah, hukum logika
(hukum kausalitas), theology. Selain theology semua ilmu dalam filsafat
boleh dipelajari, theology dilarang karena sifatnya yang spekulatif terhadap
Allah, sehingga berbicara sesuatu tentang Allah hanya dengan zhan/sangkaan
dengan tanpa ilmu dan petunjuk
·
أهل التصوّف و تذكيّة النّفس
Yaitu
orang-orang yang sibuk menggali sumber dorongan nafsu serta mujahadah
terhadapnya, memahami bebagai penyakit hati dan upaya pengobatan terhadapnya,
menyelami tingkatan penghambaan kepada Allah, upaya penyucian diri dan riyadhoh.
Selain Riyadhoh, semua ajaran tasawwuf dianjurkan, riyadhoh yang
dilarang adalah yang menghasilkan suatu tata cara ibadah yang baru, baik dalam
zikir & tuntunan ibadah dll. Akan tetapi karena banyaknya penyimpangan
dalam tasawwuf dengan menciptakan berbagai riyadhoh yang menjadi sarana
untuk mendekatkan diri kepada Allah, padahal dengan begitu sama saja mereka
telah menciptakan syari’at yang baru, maka para ulama Ahlus sunnah pada abad
ini lebih senang menggunakan kata ilmu tazkiyyatun
nafs untuk membedakan diri dari berbagai penyimpangan yang ada.
Contoh;
Tidur di liang lahat sebagai upaya
mengingat mati, hal ini karena mereka berkeyakinan dengan melakukan hal itu
dapat mempererat hubungannya dengan Allah. Sedangkan mempererat hubungan kepada
Allah dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan merupakan praktek membuat syariat
baru dan ini suatu kelancangan atas agama Allah di mana Allah telah meridho’i
Islam sebagai agama yang sempurna (Al-Maaidah: 3).
Setiap kelompok menyangka bahwa
merekalah yang lebih utama dan meremehkan kelompok yang lain. Sehingga dalam
hal ini syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (guru Ibnu Qoyyim, Ibnu Katsir,
Az-Zahaby, dll, beliau sering difitnah oleh orang-orang bodoh yang ternyata
belum pernah membaca kitab-kitabnya, apalagi pemikirannya) menengahi: “Bahwa
apa-apa yang datang dari kitab Allah dan Rosulnya maka itulah kebenaran, dan
apa-apa yang menyelisihi keduanya maka itulah yang batil” (اقتضاء
الصراط المستقيم: 17)
Begitu
juga Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam syarah kitab tersebut
menyatakan bahwa: “Hendaknya kita menerima kebenaran dari kelompok mana saja
ia berada, sama saja apakah dari tasawwuf, faqih dan ‘ulama syari’ah... adapun
dalam menerima kebenaran, maka (hendaknya) menerima kebenaran dari manusia mana
saja, hingga dari yahudi, nashrani, bahkan dari syaithon (pelajaran yang
diberikan kepada Abu Hurairoh) bahkan dari musyrikin”.(شرح
اقتضاء الصراط المستقيم: 17 ). Baca lebih lanjut penjelasan
syaikh al-Utsaimin...!!!
Kami
berkeyakinan bahwa setiap permasalahan dalam ilmu filsafat dan tashawwuf harus
ditimbang berdasarkan ilmu syari’at, jika mempunyai dasar maka pengembangan
dalam hal ini diperbolehkan, jika tidak maka tidak diperbolehkan. Hal ini
didukung oleh Imam As-Suyuthi dalam Miftahul jannah fi ihtijaj bis sunnah;
hal. 72, bahwa banyak dari kalangan shufi / tazkiyyatun nafs yang
melarang orang yang belum mempelajari ilmu syari’at dengan baik untuk
mempelajari ilmu tersebut, karena dikhawatirkan akan melahirkan berbagai metode
riyadhoh yang menyerupai stari’at, dan selanjutnya dianggap syari’at
oleh generasi sesudahnya.
Contoh:
1) Penyelidikan
ilmiah, hal ini mempunyai dasar yang kuat dalam Al-Quran (..و يتفكّرون فى خلق السماوات و الأرض), di mana kata (أفلا تعقلون) (أفلا تتفكرون) banyak
terdapat dalam Al-Quran, karenanya upaya penyelidikan ilmiah melalui berbagai
logika induktif, deduktif, analogi, komparasi maupun melalui metodologi
eksperimentalis, realis, empiris, sangat dianjurkan, hal ini tentu saja dengan
mejadikan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagai pedoman/epistemologi (sumber
ilmu) atas berbagai penyelidikan yang dilakukan sehingga menghasilkan paradigma
yang benar (إقرا باسم ربّك الذى خلق).
2) Menyedikitkan
makan, hal ini mempunyai dasar dalam ilmu syari’at (HR.Bukhory;5396) ( يأكل المسلم فى معىً واحدٍ و الكافر يأكل فى سبعةِ أمعاءٍ) “Seorang
mu’min makan dalam satu usus sedang seorang kafir makan dalam 7 usus” karenanya
pola pengembangan oleh tasawwuf dalam hal ini sangat dianjurkan sebagaimana
teori Imam Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin yang di zaman ini dapat disebut
sebagai therapy.(إحياء علوم الدّين: 1/966-985). Begitu juga
pengembangan therapy atas berbagai penyakit hati, seperti; iri
dan dengki yang seringkali menjangkiti suatu masyarakat yang sering
mengakibatkan kebencian, rasa permusuhan, fitnah, perpecahan dan hancurnya Ukhuwwah
Islamiyyah. Dalam hal ini, tulisan Syaikhul Islam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah
dalam memperbaiki akhlaq, ruh dan berbagai penyakit hati sangat penting untuk
ditekankan.
Selain
itu pembagian ikhtilaf dapat dibagi lagi berdasarkan pada tingkat titik temu
atau tidaknya;
أنواع الاختلاف على الموافـقة (Pembagian
ikhtilaf berdasarkan titik temu)
~
الإختلاف
المضاد (Ikhtilaf yang
kontradiktif)
Ikhtilaf
yang kontradiktif adalah suatu perbedaan pendapat yang tidak dimungkinkan untuk
dipertemukan, yang karena sebab dalam ikhtilaf ini dapat menimbulkan perpecahan
dalam agama, terjadinya penyimpangan (إنحراف) lafaz maupun ma’na nash, yang karenanya ikhtilaf dalam
bidang ini harus diminimalisir, dalam hal ini peran ‘ulama sangat penting dalam
menjelaskan suatu kebenaran mengingat kesalahan kecil dalam penafsiran suatu
teks dalam hal ini bisa berdampak besar terhadap pola pikir (wordview)
seorang muslim. Hal ini biasanya terjadi pada hal-hal berikut ini.
/ Dalam tauhid
o
Dalam masalah zat Allah;
sumber perpecahan antara bathiniyyah, hululiyyah dan Ahlus sunnah
wal jama’ah
o
Dalam masalah penetapan (الإثبات) tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’
wa Sifat; hal ini yang menjadi sebab perpecahan antara jahmiyyah,
syi’ah, mu’tazilah, asy’ariyyah dan ahlus sunnah wal jama’ah.
o
Dalam masalah nama dan sifat Allah; sumber perpecahan
antara mu’attil (yg meniadakan), musyabbih (yg menyerupakan),
ahlut ta’wil (yg menta’wil ke makna lain) dan mukayyif (yg
menentukan bagaimananya) dengan ahlus sunnah wal jam’ah.
o
Dalam masalah perbuatan Allah; sumber perpecahan antara
qodariyyah, jabariyyah dan ahlus sunnah wal jama’ah
o
Dalam masalah tuntutan (الطلب); yaitu
berbagai tuntutan Allah atas makhluknya; tuntutan untuk mencintai Allah
melebihi segalanya, memohon pertolongan hanya pada Allah, cinta dan benci hanya
padaNya, berkorban hanya padaNya, beribadah hanya kepadaNya, berloyalitas dan
anti loyalitas karena Allah dll; sumber perpecahan antara hizbiyyah, Ahlus
sunnah, syi’ah-ahlu tawassul.
/ Dalam rukun Islam, Iman
dan Ihsan
o
Taslim terhadap rukun Islam
Melaksanakan rukun Islam; sumber perpecahan antara ahlus
sunnah dan murjiah, bathiniyyah (bathiniyyah modern, NII dan yang
sejenisnya)
o
Taslim terhadap rukun Iman,
~
Masalah Nabi Muhammad sebagai
nabi terakhir: sumber perpecahan antara Nabi-nabi palsu (Musailamah al-Kadzab,
Tulaihah, Mirza Ghulam Ahmad [Ahmadiyyah] dll) dengan Ahlus sunnah
~
Masalah qodho & qodar:
sumber perpecahan antara qodariyyah-mu’tazilah, jabariyyah, ahlus sunnah.
~
Masalah azab kubur & hari
akhir: sumber perpecahan antara mu’tazilah dan ahlus sunnah
~
Iman bertambah dan berkurang;
sumber perpecahan antara ahlus sunnah, murji’ah dan khawarij.
~
Masalah dosa; sumber
perpecahan antara murji’ah ahlus sunnah dan khawarij.
o
Taslim terhadap rukun Ihsan
~
Tentang melihat Allah di
surga: sumber perpecahan antara ahlus sunnah dan mu’tazilah
/ Dalam Manhaj
o
Dalam masalah taslim terhadap
As-Sunnah;
~
penolakan kehujahan hadits
ahad untuk dasar ‘aqidah; sumber perpecahan antara mu’tazilah dan ahlus
sunnah (hizbut tahrir, JIL; neo mu’tazilah)
~
meninggalkan pendapat manusia
yang bertentangan dengan hadits; sumber perpecahan antara ahlus sunnah-muttabi
dengan hizbiyyah-muqollid.
o
Dalam menjadikan siroh
rosul sebagai pijakan dalam berda’wah (فقه السيرة).
~
Menghubungkan masa kekinian dengan mengkiaskan pada sirah
Nabi; sumber perpecahan antara ahlus sunnah dan kelompok ifrat (NII yang
terlalu ketat hingga menjurus pada tidak adanya penerapan syari’at) dan tafrith
(yang bertindak serampangan hingga tidak mempunyai prinsip dalam melangkah).
o
Dalam memahami hukum afiliasi (حكم
الإنتماء) dengan benar yang dapat mengeluarkan dari ta’asub dan hizbiyyah.
~
Afiliasi yang mendatangkan cinta dan benci atas kelompok;
sumber perpecahan antara ahlus sunnah dan hizbiyyah
~
Bai’at kepada kelompok; sumber perpecahan antara ahlus
sunnah dan hizbiyyah
o
Dalam masalah taslim terhadap
sunnah Khulafaur Rasyidin.
~
Menerima sunnah khilafah
rasyidah; sumber perpecahan antara ahlus sunnah dengan syi’ah dan khawarij
o
Dalam masalah taslim terhadap
pemahaman para sahabat selama tidak menentang sunnah
~
Menerima pemahaman sahabat;
sumber perpecahan antara salaf dan kholaf
o
Dalam masalah berhubungan
dengan penguasa muslim.
~
Dalam masalah kepemimpinan
Islam: perpecahan antara syi’ah, khawarij dan ahlus sunnah
~
Ketaatan kepada penguasa
muslim yang zhalim; sumber perpecahan antara ahlus sunnah dan khawarij
dan syi’ah.
~
الاختلاف
التنوّع (Ikhtilaf yang variatif)
Yaitu
suatu ikhtilaf yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan masalah di atas
dan dimungkinkan terjadi dikarenakan
berbagai sebab seperti; keluasan ilmu, tingkat penafsiran,
kedalaman ilmu, perbedaan ushul dll akan
tetapi tidak keluar dari manhaj ahlus sunnah, yaitu prinsip-prinsip yang telah
disepakati oleh para Sahabat dan para Imam Ahlus sunnah (ini yang menjadi
pembicaraan kita);. Hal ini seperti masalah tata cara wudhu, sholat,
manasik haji, ibadah mu’amalah dll yang berhubungan dengan istinbath
hukum.
Ikhtilaf
ini pun dibagi lagi menjadi 2;
·
Ikhtilaf tarjiih; yaitu
ikhtilaf yang tidak mungkin dikompromikan dengan menggunakan teknik
penggabungan (طريقة الجمع) yang karenanya menghendaki
pemilihan salah satu pendapat antar keduanya (طريقة
الترجيح) atau tawaqquf, menghentikan penelitian karena tidak
mempunyai kesimpulan.
Dalam
ikhtilaf yang semacam ini, maka berkata Imam Abu Hanifah:
“Setiap mujtahid mendapat bagian ( benar) (المصيب), akan tetapi Al-Haq (kebenaran) di
sisi Allah adalah satu. Yaitu mendapat bagian (kebenaran) dalam menelusuri
metodologi ijtihad, akan tetapi salah pada hasil akhir ijtihad yang ia tuju” (مناهج
التشريع الإسلامي فى القرنى الثانى الهجرى-
محمّد بلتاجى:1/284).
Berkata Syaikh Al-‘Utsaimin:
“Yang benar bahwa dapat dipastikan tidak semua mujtahid
memperoleh kebenaran (مصيباً) berdasarkan sabda Nabi ‘Jika seorang hakim berijtihad kemudian
menemukan hukum, dan sesuai dengan kebenaran maka baginya 2 pahala, sedang jika
salah maka baginya 1 pahala’ … maka atas dasar ini ucapan bahwa ‘setiap
mujtahid benar’ merupakan ucapan yang batil… (شرح
إقتضاء الصراط المستقيم:51 )
·
Ikhtilaf majazy; yaitu suatu ikhtilaf yang berbeda dalam penjelasan akan
tetapi mempunyai titik temu/kesimpulan
(konklusi) yang sama jika menggunakan teknik penggabungan (طريقة الجمع). Ikhtilaf seperti ini dimungkinkan
terjadi dikarenakan faktor internal (sang penafsir) dan eksternal (teks/masalah
yang dihadapi). Hal ini sering terjadi dalam penafsiran Al-Quran maupun
Al-Hadits.
Contoh:
1) dalam Al-Quran penafsiran (الصراط
المستقيم) dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud; sebagai “Islam”, oleh
Mujahid; “Al-Haq/kebenaran”, Abul ‘Aliyah; “Nabi dan kedua sahabatnya
(Abu Bakar & ‘Umar)”, sehingga ketika hal ini disampaikan kepada
Al-Hasan (Bashri), maka ia berkata: “Abul ‘Aliyah benar, semua ucapan ini
benar dan saling melazimkan, karena barang siapa yang mengikuti Nabi dan 2
orang sesudahnya maka ia telah mengikuti Al-Haq, dan barang siapa yang
mengikuti Al-Haq maka ia telah mengikuti Islam, dan barang siapa yang mengikuti
Islam maka ia telah mengikuti Al-Quran, yaitu kitab Allah dan ikatan yang kuat
dan jalannya yang lurus, karena sesungguhnya barang siapa yang sesuai dengan
apa-apa dilakukan dari orang-orang yang telah Allah beri ni’mat dari nabi-nabi,
siddiqin(Abu Bakar), syuhada (‘Umar) dan orang-orang shalih
(para sahabat)—maksud beliau surat An-Niisa:69, tafsir atas surat al-fatihah
ayat ini, edd—maka ia telah sesuai dengan Islam” (تفسير
ابن كثير:1/41-42)
2) dalam Al-Hadits Nabi memberi jawaban
yang berbeda untuk satu pertanyaan yang hakikatnya sama (أي الإسلام أفضل) (أي
الإسلام خير), Islam apa yang paling baik?, perbedaan jawaban Rosul
dikarenakan psikologi orang yang dihadapinya berbeda, orang pertama;
adalah karena sering menyakiti muslim lainnya baik dengan lisan dan
perbuatannya (من سلم المسلمون من لسانه و يده) “orang
yang jika kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” orang ke
dua; adalah karena kurang bershodaqoh dan tegur sapa dengan muslim lain
(تطعم الطعام و تقرأ السلام) “engkau memberi makan dan
menyebarkan salam” akan tetapi mempunyai makna/inti yang sama.(HR.Bukhory:
no.11,12 )
Karenanya
perlu kiranya kita pilah terlebih dahulu suatu ikhtilaf yang dapat membawa
kepada perpecahan dan yang tidak, sehingga kita dapat lebih bijaksana melihat
suatu perbedaan, terutama saat ini di mana akses terhadap ilmu menjadi lebih
mudah, hingga berbagai fatwa ‘Ulama dapat kita baca dengan mudah baik
melalui sotfware, program computer, MP3, CD, internet, perpustakaan,
kitab, buku terjemahan dll, sehingga ilmu tidak lagi dimonopoli oleh segelintir
orang, dan inilah hakikat (و تواصوا بالحق و
تواصوا بالصبر) “saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran”. Kata
‘saling’ di sini mengharuskan terjadinya take and give, hal ini
didukung oleh kenyataan bahwa tidak ada manusia yang sempurna, karenanya
manusia membutuhkan nasehat dalam menuju kesempurnaannya.
Melihat
hal ini, karenanya dibutuhkan kecerdasan bagi umat untuk memilah suatu ikhtilaf
yang masih dalam koridor variatif dengan ikhtilaf i’tiqodi yang membawa kepada
suatu perpecahan.
·
مصادر الاختلاف (Sumber-sumber
ikhtilaf)
Ummat Islam sepakat bahwasanya jika terjadi
perbedaan pendapat maka permasalahan tersebut harus dikembalikan kepada Allah
dan RasulNya (آل
عمران:103)(فإن تنازعتم فى شيءٍ فردّوه إلى الله و رسوله). Walau begitu berbagai penafsiran atas ayat, pentakhsisan hadits
atas suatu ayat, nilai ayat yang bersifat mutlaq atau muqoyyad, ‘aam
atau khosh, tujuan syari’at, belum terkumpulnya hadits secara lengkap,
ditambah nilai kesusastraan/kebahasaan sering menjadi penyebab ikhtilah di
kalangan Imam mazhab. Akan tetapi dikarenakan ikhtilaf di sini tidak menyentuh
sesuatu yang prinsip dalam agama, ikhtilaf yang seperti ini sangat mungkin
terjadi dan dapat dimaafkan. Akan tetapi hal ini bukan berarti kita berdiam
diri atau menolak jika suatu kebenaran datang dari orang lain, karena hal ini
dapat menyebabkan kerasnya jiwa, sakitnya hati dalam usahanya mencari ridha
Allah, yang berlanjut pada jumud/beku dalam pemikiran, dan hal inilah
yang menjadi sumber kemunduran umat Islam.
~
فى
القرآن (dalam
Al-Quran)
/ Dalam qiro’ah; hal
ini telah masyhur bahwasanya terdapat 7 bacaan qiro’ah Al-Quran, yaitu Abu
`Amr, Naafi`, `Aasim, Hamzah, al-Kisaa’I, Ibnu Katsir, Ibnu `Aamir. Bahwa yang
masyhur adalah bacaan Hafs tidak menafikan terdapatnya bacaan-bacaan
lain, sebaliknya tidak selayaknya bagi orang yang telah mengetahui
bacaan-bacaan lain (seperti bacaan Ibnu Mas’ud, Ibnu Katsir dll) untuk
membacanya di hadapan orang awam demi menutup pintu-pintu fitnah. Ilmu ini
tidak mempunyai hubungan langsung—sebagian ada hubungan langsung—dengan istinbath
hukum.
/ Dalam ilmu alat (nahwiyyah,
tashrif, i’rob, balaghoh, ma’any, bayan, badi’); hal ini
juga telah masyhur bahwasanya terdapat mazhab bashrah dan kufah
dalam ilmu ini, dan yang lebih sempurna pemahamannya adalah mazhab bashrah,
akan tetapi tidak menutup kemungkinan benarnya pendapat kufah (dan ilmu ini
mempunyai pengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap istinbath
hukum)
Contoh:
Menurut mazhab basrah dan siibawaih memandang
bahwa jika terdapat 2 ‘amil, maka yang digunakan dalam isim adalah salah satunya, dan
untuk yang lainya dibuang ma’mulnya, karena ia memandang tidak boleh
berkumpul 2 ‘amil untuk satu ma’mul.
Menurut mazhab kufah dan Al-Farraa memandang
bolehnya 2 ‘amil berada dalam 1 ma’mul, dan masalah mereka ini
masuk ke dalam ayat (ق:17)(عن
اليمين و عن الشمال قعيد),
sementara ‘ulama mua’sir mempunyai suatu qaidah tambahan bahwa “Kita
mengikuti yang termudah selama makna tidak menolaknya”, atas dasar ini
mereka menerima pendapat kufah, contoh yang mudah atas ini adalah sbb; (قدمت و أكرمت
زيداً).
/ Dalam ‘ulumul qur’an
(‘Aam-khosh, mutlaq-muqoyyad, manthuq-mafhum, tafsir-ta’wil dll)
Contoh:
Ikhtilaf antara qodhi Al-Zunjani dengan seorang
penuntut ilmu dari Shogoni tentang bagaimana jika seorang kafir
berlindung di masjidil haram boleh dibunuh atau tidak?, maka orang
Shogoni berkata bahwa ia tidak boleh dibunuh atas dasar (البقرة: 191)(و لا تقاتلوهم
عند المسجد الحرام جتى يقاتلوكم فيه). Kemudian
Al-Zunjany membantahnya dengan mengatakan bahwa ayat itu telah dimansukh
(dihapus hukumnya) dengan firman Allah yang lain (فاقتلوا
المشركين حيث وجدتم), maka orang Shogoni itu menjawab “Ini tidak layak
disanadarkan kepada ilmu seorang qodhy (hakim), karena sesungguhnya ayat ini
bersifat umum, sedang ayat yang aku jadikan hujjah bersifat khas (khusus) dan
tidak boleh bagi seseorang bekata: ‘Sesungguhnya ayat yang umum /menghapus ayat
yang khusus’”. Maka tercenganglah Qodhi Al-Zunjani.(روائع
البيان تفسير آيات الأحكام-للشيخ محمّد على الصابونى: 1/232).
/ Dalam tafsir
Contoh:
Ikhtilaf antara Imam Asy-Syafi’i dengan Imam Ahmad-Abu
Hanifah-Imam Malik pada ayat (النّساء :43)(أو لامستم النّساء ...), menurut Imam Asy-Syafi’i, menyentuh di situ makna hakiki
karena tidak ada illat/sebab dan qorinah/petunjuk yang
mengharuskan terjadinya pemalingan makna ke makna majazi, karenanya menyentuh
perempuan menurutnya membatalkan wudhu, sebaliknya menurut Imam Ahmad menyentuh
di situ bersifat majazy berdasarkan pada ayat (البقراة
: 237)
(و إن طلّقتموهنّ من قبل أن تمسّوهنّ
...)
dan ()(ثمّ طلّقتموهنّ من قبل أن تمسّوهنّ ...) karenanya
menurutnya menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu walaupun berdosa jika
bukan mahramnya, karena hukum keduanya memang berbeda.
Tarjih:
Dalam hal ini satu hal yang sangat
penting untuk ditekankan, bahwasanya hanya melalui penafsiran terhadap
ayat-ayat Al-Quran istinbath hukum tidak dapat dilakukan, hal ini karena
ayat-ayat Al-Quran masih bersifat general, karenanya sebagaimana
perkataan Imam Ibnul Mubarok “Sesungguhnya Al-Quran lebih membutuhkan
hadits, dibandingkan hadits terhadap Al-Quran”. Hal ini karena tidak ada
suatu permasalahan di dalam Al-Quran kecuali dijelaskan oleh Nabi, baik melalui
perkataan, perbuatan maupun ketetapan.
Berdasarkan hal ini, maka hadits
dapat menjadi hakim atas masalah perbedaan penafsiran antara para Imam mazhab
tersebut. Dan banyak sekali hadits yang menyatakan bahwa Nabi berwudhu kemudian
mencium istri-istrinya lalu shalat dengan tidak mengulangi wudhu (HR. Abu
Dawud; no.170-173, dengan 10 jalan rawi). Begitu juga dengan hadits yang
menyatakan bahwa jika shalat malam ketika hendak sujud Nabi memindahkan dahulu
kaki ‘Aisyah. Karenanya dalam hal ini pendapat Imam Malik yang menyatakan menyentuh
wanita selama tidak membangkitkan syahwat tidak membatalkan wudhu patut
dijadikan pegangan.
Dalam hal ini bahkan Imam Mufassir
Ibnu ‘Abbas, syaikhul Muffasir Ibnu Jarir At-Thabary mengartikannya dengan jima’,
begitu pula Ibnu Katsir lebih cenderung pada pendapat ini (تفسير
ابن كثير: 2/189-191). Begitu juga hasil tarjih syaikh Muhammad ‘Ali Ash-shoobuni
dalam tafsirnya (روائع البيان تفسير آيات الأحكام: 489) atas dasar
bahwa kata (لامس) jika disandarkan kepada perempuan
tidak dapat difahami selain jima’.
Hal ini tentu saja tidak menafikan
pendapat Imam Asy-Syafi’i yang dapat dikategorikan berfatwa atas dasar
kehati-hatian (الاحتياط)—yang insya Allah dibahas
dalam bab fatwa—karena untuk kehati-hatian jika tidak menyulitkan akan lebih
baik jika melakukan wudhu lagi.
~
فى السنّة
(dalam sunnah)
/ Dalam makna hadits
Contoh:
² Ikhtilaf para sahabat dalam menafsirkan perintah Nabi
untuk sholat di bani quraizhoh (HR.Bukhory:946)(لا
يصلّين أحدٌ العصر إلاّ فى بنى قريظة) “Janganlah shalat ashr salah seorang pun kecuali di Bani
Quraizhah”. sebagian sahabat mengartikan menunda shalat ashar hingga sampai
di Bani Quraizhzoh sebagian lagi mengartikan agar berusaha secara maksimal
mungkin agar sampai di Bani Quraizhoh di waktu Ashar, adapun jika waktunya
telah datang dan belum sampai maka melakukan shalat pada waktunya di mana saja berada. Dalam hal ini
Nabi tidak menyalahkan salah seorangpun di antara mereka.
Ikhtilaf para sahabat ini sangat jelas, di mana pihak
pertama berpegang pada makna zhahirnya perintah sedangkan pihak ke dua
berpegang pada illat/sebab bahwa Nabi dan sahabat tidak pernah shalat
kecuali tepat pada waktunya
(إنّ الصلاة كانت على المؤمنين كتاباً موقوتاً).
² Ikhtilaf antara Imam Asy-Syafi’i dengan Imam Malik dalam
mengulurkan jari telunjuk dalam tasyahud. Imam Asy-Syafi’i memandang bahwasanya
mengulurkan jari telunjuk pada saat membaca (أشهد). Sementara Imam Malik
memandang membacanya pada saat kata (إلاّ). Sementara ‘ulama mu’assir
memandang mengulurkannya pada awal bacaan tasyahud. Hal ini terjadi karena
penafsiran terhadap kata (و) dan (ثمّ). Di mana kata
wawu menunjukan (معيّة) berberengan, sedangkan kata (ثمّ) menunjukan (للفصل) adanya jeda
waktu. Berdasarkan hadits-hadits sbb; (نيل
الأوطار:2/301-302).
(...ثمّ قبض ثنتين من أصابعه و حلق حلقةً ثمّ رفع أصبعه
فرأيته يحرّكها
يدعو له) (HR. Ahmad, An-Nasa’i, Abu Dawud)
(...يضع يديه على ركبيته
ثمّ أشار بأصبعه) (سلسله
الأحاديث الصحيحه: no. 2245).
(وضع يده اليمنى على ركبته اليمنى و عقد ثلاثة و خمسين و أشار بالسباية) (HR. Muslim: no)
(...و
أشار بأصبعه السبابة، و وضع إبهامه
على فخذه أصبعه الوسطى و يقلم كفّه اليسرى ركبته) (HR. Muslim:
no.)
(ثمّ
يرفع أصبعه السبابة التى تلى الإبهام، و باقى أصابعه على يمينه مقبوضة) (HR. Thabrani)
Atas dasar ini maka ikhtilaf
para Imam tersebut tidak terlalu penting karena tidak ada dalil yang secara
tegas bahwa Nabi memulai memberi isyarat pada bacaan tertentu, akan tetapi dari
beberapa hadits ini kita dapat menyimpulkan bahwa Rosul melakukan beragai macam
teknik dalam menggenggam jari.
1) berdasarkan hadits ke 1, 3 dan 4,
Nabi membentuk jari lingkaran (jari tengah dan ibu jari, tambahan hadits ke 4)
kemudian menggerak-gerakan jari (telunjuk).
2) Berdasarkan hadits ke 2, 5, Nabi
menutup semua jarinya dan memberi isyarat dengan jari telunjuk (tanpa
keterangan menggerak-gerakan).
Karena semua hadits tersebut shahih,
maka kita dapat memilih bahkan
mengamalkan berbagai teknik tersebut secara berbagantian (طريقة
الجمع).
/ Dalam ilmu hadits (matan, sanad, jarh
wa ta’dil, )
Perbedaan dalam ketelitian mempelajari sanad (pembawa
berita hadits rosul) mempunyai pengaruh terhadap penshahihahan dan pendho’ifan
suatu hadits, yang selanjutnya berpengaruh pada kebolehan atau tidaknya
berhujjah dengan hadits tersebut. ‘Ulama yang melakukan penelitian dalam bidang
ini disebut Muhaqqiq. Karenanya para ‘ulama tidak menerima penshohihan
dari Al-Hakim dan Ibnu Hibban, karena keduanya terkenal tasaahul
(bermudah-mudah) dalam mensahihkan sebuah hadits, sebaliknya Ibnu Hazm terkenal
sangat mempersulit dalam menerima kesahihan suatu hadits. Karena masalah ini
berhubungan langsung kepada derajat hadits, maka contohnya kami gabungkan pada
pembahasan di bawahnya.
/ Dalam derajat hadits
(shohih-hasan-dhoif-maudhu; ‘aaly, mu’an’an, munqothy, mu’addhol,
mursal dll)
Contoh:
Ikhtilaf antara Imam Asy-Syafi’i-Imam Malik dengan, Abu
Hanifah-Imam Ahmad dalam qunut subuh. Imam Asy-Syafi’i mendasarkan pada hadits (HR. Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 3/110, Ahmad dalam
Al-Musnad 3/162, Ibnu Abi Syaibah Al-Muahannaf 2/312 dan Thahawi dalam Syarah
ma’any al-atsar;1/248 )(ما زال رسول
الله يقنت فى الصبح حتّى فارق الدّنيا) “Rasulullah selalu melakukan qunut dalam shalat subuh
hingga meninggal dunia” sedangkan Imam lainnya menganggap hadits tersebut
lemah tidak dapat dijadikan hujjah dikarenakan terdapat Abu Ja’far
Ar-Razi yang dikritik oleh para pakar hadits, seperti; Imam Ahmad, Ibnu
Al-Madini, Abu Zur’ah, Ibnu Hibban, Ibnu Qoyyim, Syaikh Al-Albany begitu juga
dengan hadits (HR.Baihaqi dalam As-Sunan Al-Qubra;
2/201, Daruquthni dalam as-Sunnan; 2/166)(قنت
رسول الله و أبو بكر و عمر و عثمان حتّى فارق الدّنيا) “Rosulullah, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman selalu melakukan
qunut hingga meninggal dunia” terdapat perawi (penyampai berita) bernama Isma’il
bin Muslim al-Makki dan ‘Amr bin ‘Ubaid yang telah
dikritik oleh para pakar hadits sepert; Imam Baihaqi, Al-Khatib, Syaikh
Al-Albaany.
Sementara Abu hanifah, Abu yusuf, Imam Ahmad menyatakan
bahwa Nabi tidak menggunakan qunut subuh terus-menerus menggunakan dalil dari Sa’ad bin Thariq Al-Asyja’i yang
bertanya kepada bapaknya (يا أبتِ إنّك
قد صلّيت مع رسول الله و أبي بكر و عمر و عثمان و على، أفكانوا يقنتون فى الفجر ؟
قال: أي بنيّ محدث) “Wahai bapakku, engkau telah shalat dibelakang Nabi,
Abu Bakar, Utsman dan ‘Ali, apakah mereka melakukan qunut di sholat fajar ?,
Ia berkata: ‘Wahai anakku, itu adalah bid’ah’” (HR. Tirmidzi; 1292, Ibnu
Majah; 1/393, Nasa’i; 3/203-204). Hadits ini telah diterima kesahihannya oleh
para Ahli Hadits seperti: Al-Mubarokfuri, Az-Zahabi, Asy-syuyuthi, Imam
Ahmad, Syaikh Al-Albaany.
Tarjih:
Perlu kita dudukan dahulu pengertian
qunut dalam terminologi ini;
1) qunut dalam arti khusu’, tunduk patuh, terus-menerus ta’at,
berdiri lama setelah ruku’
Hal ini sebagaimana firmanNya
(Al-Baqarah: 238)(و قوموا لله قانتين) “dan
berdirilah (dalam shalatmu) dalam keadaan khusu’” (Ar-Rum:
26) (و له من فى السماوات و الأرض كلّ له قانتون) “Dan
kepunyaanNya lah apa saja yang di langit dan di bumi, semuanya tunduk patuh
hanya kepadaNya” (Al-Ahzab: 31) (و من يقنت
منكنّ لله و رسوله و تعمل صالحا نؤتها أجرها مرّتين) “Dan barang siapa di antara
kalian (istri-istri Nabi) yang terus-menerus ta’at kepada Allah dan
Rasulnya dan mengerjakan ‘amal shalih, maka Kami berikan kepadanya pahala 2
kali lipat”.hadits Nabi ketika ditanya Shalat apa yang afdhal ?, Rosul
menjawab (طول القنوت) (HR. Muslim; 756, Tirmidzi; 387),
yang ditafsiri oleh hadits dari Abu Dawud sebagai (طول
القيام)
memperpanjang dalam berdiri. Begitu pula dalam syarahnya
Al-Minhaj oleh Imam An-Nawawi dan Tuhfatul Ahwazy oleh Syaikh
Al-Mubaaroqfury.
2) qunut dalam arti membaca bacaan do’a
pada waktu subuh, dalilnya telah disampaikan. Atas dasar ini sebagian ‘ulama
menta’wili kalaupun hadits yang dijadikan hujjah oleh Imam Asy-Syafi’i itu
shahih maka pengertiannya adalah tunduk, patuh, khusyu’ thu’maninah,
terus-menerus ta’at dan berdiri lama dalam ruku’.
3) qunut dalam arti membaca suatu do’a
untuk kebaikan atau suatu keburukan bagi suatu kaum yang dilakukan pada setiap
shalat wajib (zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, Subuh). Hal ini banyak sekali
diriwatkan oleh para Imam Hadits, yaitu ketika para quro’ Islam dibunuh
oleh orang-orang kafir yang menipu Rosul dengan alasan minta diajarkan
Al-Quran. Sehingga Rosul melakukan qunut nazilah selama sebulan, setelah itu
menghentikannya—secara implisit mendukung penghentian qunut—. Lihat (HR.
Bukhory: 1/204, Muslim; 2/135, Abu Dawud; 1440, Nasa’i; 1/164, Daruquthni; 178,
Baihaqi; 2/206, Ahmad; 2/255).
Berdasarkan berbagai dalil yang dikemukakan kita
mengetahui bahwasanya kedua pendapat tersebut tidak dapat digabungkan,
karenanya harus dipilih salah satu (طريقة
التّرجيح), dan dalam hal ini hadits yang digunakan Imam Asy-Syafi’i dhaif/lemah
dan bertentangan dengan hadits yang shahih, karenanya pendapat Imam Ahmad, Abu
Hanifah lebih utama diikuti.
Dalam ilmu hadits, jika suatu hadits
shahih bertentangan dengan hadits yang lebih shahih maka status hadits shahih
tersebut berubah menjadi hadits syaz (ganjil), yang kemungkinan besar
ditolak dalam berhujjah atasnya, apalagi dalam hal ini hadits yang lemah
bertentangan dengan hadits yang shahih, karenanya lebih utama untuk ditinggalkan.
Hal ini ditambah kenyataan bahwasanya tidak ada dalil atas bacaan qunut subuh,
karena bacaan qunut subuh yang sekarang digunakan adalah bacaan qunut witir
sebagaimana hadits yang dibawakan oleh Hasan bin ‘Ali (علّمنى
رسول الله كلماتٍ أقولـهنّ فى قنوت الوتر...) “Rosulullah mengajarkanku
beberapa kalmiat untuk aku baca ketika qunut witir ...” (HR. Abu Dawud;
1425-1426, Tirmidzi; 464, Nasa’i; 3/248).
Hal ini bukan berarti kita tidak
menghormati Imam Asy-Syafi’i, akan tetapi kebenaran lebih utama untuk diikuti,
karena sebagaimana ucapan Imam Asy-Syafi’i (إذا صحّ
الحديث فهو مذهبى) “Jika hadits itu shahih maka itulah mazhabku”.
~
فى قول الصحابة (dalam ucapan sahabat)
/ Ijma’ shohabat (sukuty, qouly)
Pengertian Ijma
Secara bahasa :
digunakan untuk dua makna
·
(`Azam) niat yang kuat dan ketetapan hati terhadap sesuatu
·
kesepakatan, dikatakan (أجمع القوم على كذا) yaitu mereka bersepakat atasnya. Makna ini
menghendaki pada ketetapan hati pula. Perbedaan antara keduanya adalah, pada
yang pertama digunakan atas keinginan yang satu dan yang kedua mengharuskan
keterbilangan.
Secara Istilah : kesepakatan pada mujtahid dari umat
Nabi Muhammad setelah wafatnya pada suatu masa atas hukum syari’at.
Dari penjelasan
tersebut, maka dapat diketahui bahwasanya suatu Ijma` memilki beberapa
kaidah/rukun yang harus terpenuhi, yaitu;
§ adanya kesepakatan, hal
ini berakibat pada,
o
Harus disepakati oleh seluruh Mujtahid
o
Sumber ijma` tidak dapat diperoleh dari seorang mujtahid jika
keberadaannya tersendiri pada suatu zaman, karena kesepakatan mengharuskan
keterbilangan.
o
Bersumber dari pemikiran yang satu dari keseluruhannya. Bagaimana jika
keseluruhannya terpolarisasi menjadi 2 pemikiran, apakah artinya mereka tidak
boleh mengutarakan pendapat yang ketiga? Inilah yang dikenal sebagai Ijma` murokkab,
atau Ijma` adh-Dhamany.
Dalam hal ini Wahbah az-Zuhaily lebih mendukung pendapat bahwa jika
memungkinkan penggambaran ijma` maka pendapat tersebut menjadi harus, artinya
tidak lagi menghendaki terjadinya pendapat yang lainnya, sebaliknya jika tidak
tergambarkan dan maka pendapat tersebut tidak sah, maka mengadakan pendapat
yang ketiga menjadi sah. Hal ini
menjadi jelas dengan gambaran berikut ini.
Contoh:
Peredaan antar para
sahabat dalam hak waris kakek bersama saudara (si mayit), sebagian sahabat
berpendapat bahwa Kakek mewarisi seluruh harta si mayit dan menghijab saudara.
Sebagian lagi berpendapat bahwa Kakek mewarisi bersama dengan saudara. Akan
tetapi kedua kelompok bersepakat jaminan atas pentingnya waris bagi Kakek, maka
memunculkan pendapat ketiga yang menyatakan ketiadaan waris bagi kakek
tergolong keluar dari Ijma`.
§
Ijma Sukuty: adalah suatu ijma yang
dikatakan/dikerjakan oleh salah seorang sahabat dan tidak ada sahabat lain yang
membantahnya
Contoh:
~
Ijtihad Abu Bakar memerangi
ahlu riddah, mengirim pasukan ke rumawi.
~
Ijtihad ‘Umar dalam
pengumpulan Al-Quran dalam 1 mushaf, menggaji Amirul Mu’minin, pejabat dan
prajurit, tidak memotong tangan pencuri di masa krisis, menghentikan pemberian
zakat kepada mu’alaf dll.
~
Ijtihad ‘Utsman dalam penyatuan
bacaan mushaf.
Ijma Qoauly: adalah suatu ijma yang
dinyatakan oleh para sahabat dengan tidak didapati salah seorang pun yang
menyelisihinya:
o
Keberadaan zat Allah
o
Pemahaman tauhid Rububiyyah,
uluhiyyah dan asma wa sifat
o
Pemahaman perbuatan Allah
o
Ketetapan masalah qodho
dan qodar Allah
o
Keharusan taat kepada
pemimpin yang muslim baik yang sholih atau fajir
o
Keharusan menghormati Ahlul
Badr, ahlu bai’at ridwan, Muhajirin dan Anshor, para sahabat seluruhnya (والذين
من بعدهم يقولون ربّنا اغفرلنا و لإخوننا الذين سبقونا بالإيمان و لا تجعل
فى قلوبنا غلاّ للذين آمنو ...) dll.
/ Qoul sahabat dalam menafsirkan
Al-Quran dan As-Sunnah
Dalam hal ini, para Imam mazhab berbeda pendapat apakah
penafsiran para sahabat mutlak harus diterima jika tidak menyelisihi hadits.
Yang masyhur di kalangan para Imam mazhab adalah menerima penafsiran para
sahabat, terutama jika para sahabat telah sepakat atau suatu penafsiran atau
kesimpulan hukum. Hal ini sejalan dengan perintah Rosul (HR. Abu Dawud:VII /46, Tirmizi: II/112-113)(عليكم
بسنّتى و سنّة الخلفاء الراشدين) “Berpegang
teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah khulafa’ul rasyidin...” dan hadits (HR.Bukhory:3650, Muslim:2533 ) (خير
الناس قرنى ثمّ الذين يلونهم ثمّ الذين يلونهم) “Sebaik-baik manusia, zamanku,
kemudian, yg sesudahnya, kemudian yg sesudahnya”. Selain itu perlu pula
didudukan tingkatan keilmuan para sahabat, berdasarkan tingkatannya berdasarkan
pembagian Imam Al-Laalika’i (شرح أصول
اعتقاد أهل السنّة و الجماعة:1/24). Yaitu; Khalifah Rosyidah, Zubair,
Sa’ad bin Abi Waqas, Sa’id bin Zaid, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Ibnu Mas’ud, Mu’az
bin Jabal, Ubay bin Ka’b, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Amr, Abdulah bin
Zubair, Zaid bin Tsabit, Abu Darda, dll. Hal ini karena tingkat tafaqquh
para sahabat berbeda-beda, seperti; Abu Musa al-Asy’ary mengakui keutamaan Ibnu
Mas’ud, ‘Ibnu ‘Umar mengakui keutamaan Ibnu ‘Abbas, dll. Hal
ini bukan berarti kita merendahkan sahabat yang lain karena masing-masing
mempunyai tempat dan kedudukan di sisi Nabi.
/ Qoul sahabat yang menyelisihi Al-Quran
dan As-Sunnah
Begitu juga dalam hal ini, para imam mazhab berbeda
pendapat jika penafsiran sahabat atas suatu masalah bertentangan dengan Zahir
Al-Quran atau hadits Rosul, dalam hal ini:
o
Ibnu Abi Laily, tidak selalu
berpegang pada ucapan sahabat dengan menganggapnya sebagai sumber sayri’,
walau kadang beliau mengambil ucapan sahabat. Sehingga ia tidak selalu
berpegang dan tidak juga meninggalkannya secara total (المبسوط:
13/11-12).
o
Abu Hanifah, jika sahabat sepakat atas suatu masalah ia
mengambil pendapat mereka, akan tetapi jika para sahabat berbeda pendapat ia
mengambil pendapat salah satunya berdasarkan ketafaquhannya (المبسوط:
13/11).
o
Al-‘Auza’i, jika ucapan/perbuatan sahabat menyelisi
hadits, maka beliau berusaha menta’wili ucapan dan perbuatan sahabat agar
sesuai dengan hadits (مناهج تشريع الإسلامى: 1/342).
o
Ats-Tsaury, melalui beberapa studi ada beberapa
kemungkinan pandangan Ats-Tsaury jika sahabat berbeda pendapat; 1)
Memilih salah satu dari pendapat yang ada 2) Tidak apa-apa menyelisihi
pendapat para sahabat jika pendapatnya menyendiri dalam satu masalah tanpa
diketahui baginya siapa di antara sahabat yang menyepakatinya dan yang
menyelisihinya. Hal ini sama dengan pendapat Ibnu Qoyyim dalam اغاثة
اللهفان atas penafsiran Abu Hurairoh dalam memperpanjang anggota tubuh
saat melakukan wudhu, karena menurutnya pemahaman yang benar adalah
memperpanjang waktu waudhu dengan senantiasa menjaga wudhu ketika batal.
Sementara menurut Ibnu Hajar Al-Asqalany, penafsiran dari perawi atas hadits
yang dibawanya dapat diterima.
o
Imam Malik, tidak memandang ucapan sahabat sebagai suatu
sumber tasyri’ yang diharuskan untuk dipegang, hal ini terutama jika berbagai
ucapan dan perbuatan sahabat tidak diamalkan oleh masyarakat madinah, hal
inilah yang kemudian sering dikritisi 2 muridnya (Imam Asy-Syafi’i dan Laits
bin Sa’ad)
Contoh:
Ketika di atas mimbar ‘Umar bin
Khatab membaca ayat sajdah, kemudian beliau turun dan sujud, maka
bersujud pula manusia, kemudian pada jum’at lainnya, ketika para mustami’
siap-siap hendak sujud, ‘Umar berkata: “sesungguhnya Allah tidak mewajibkan
atas kita hal itu, hanya jika kita mau” ia tidak sujud dan melarang manusia
untuk sujud. (الموطّـأ:1/206). Menurut Imam
Malik turunnya Imam dari mimbar tidak diamalkan oleh masyarakat madinah.
‘Abdullah bin Al-Hadir pernah
menyaksikan ‘Umar membersihkan kutu kudanya padahal ia sedang ihram, kemudian
Imam Malik meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar membenci membersihkan kutu kuda saat
ihram. Imam Malik memberi komentar: “saya membenci (membersihkan kutu saat
ihram) (الموطـأ:1/357-358). Kemudian Imam Asy-Syafi’i
mengkritisi pendapat Imam Malik, bahwa apa yang dilakukan ‘Umar telah sesuai
dengan sunah, kemudian tidak mungkin menolak pendapat ‘Umar (sahabat) dengan
pendapat Ibnu “Umar (sahabat), bahkan jika ingin taqlid, maka ‘Umar
(sebagai sahabat senior) lebih layak ditaqlidi (الأم:7/221).
o Imam Asy-Syafi’i, sepakat dengan Abu
hanifah, jika sahabat sepakat atas suatu masalah ia mengambil pendapat mereka,
akan tetapi jika para sahabat berbeda pendapat ia mengambil pendapat salah
satunya berdasarkan ketafaquhannya.
~
فى الأصول (dalam ushul syari’ah/fiqh)
/ Dalam rumusan ushul fiqh
Tiap Imam mazhab mempunyai ushul yang berbeda-beda,
seperti Ushul fiqh Imam Malik yang menjadikan praktek penduduk madinah sebagai
standar kebenaran, Imam Abu Hanifah yang menggunakan (حيلة
شرعيّة), Imam
Asy-Syafi’i yang menjadikan qiyas sebagai rumusan ijtihad/ushul
atas masalah-masalah yang timbul yang masing-masing harus diperinci, sehingga
ada hal yang dapat diambil dan ada hal yang ditolak, karenanya dalam hal ini
sangat diperlukan suatu kajian khusus tentang parameter suatu ushul dapat
ditetapkan dan digunakan secara luas ……
Contoh:
1) Hilah syar’iyyah yang dilakukan Nabi Ayub
untuk memukul istrinya dengan 100 kali pukulan, kemudian setelah sembuh ia
mengikat 100 lidi dan memukulnya dalam satu pukulan.
2) Hilah Imam Abu Hanifah. Yaitu ketika
datang kepadanya orang yang dalam keadaan junub yang telah bersumpah kepada
isrtinya jika ia mandi janabah maka ia akan mentalaq istrinya, kemudian Abu
Hanifah membawa orang tersebut ke sungai dan mendorongnya hingga masuk ke
sungai. Kemudian Abu Hanifah berkata kepadanya: “Keluarlah dan temui
istrimu, karena engkau telah suci dan engkau tidak mandi—yaitu tidak mandi
atas dasar keinginanmu, edd” (المناقب الإمام الأعظم-الخوارزمى: 1/163).
Tarjih:
Hillah seperti ini dapat digolongkan kepada hilah
ghair syar’iyyah, hal ini karena sumpah orang tersebut termasuk sumpah lagwun,
yaitu yang menyebabkan seseorang terhalang dari berbuat kebaikan
(Al-Baqarah:224-225). Karenanya cukup baginya melakukan kafarat sumpah
yaitu dengan melakukan puasa 3 hari berturut-turut, setelah itu halal kembali
istrinya baginya.
3) Ketetapan Imam Malik untuk berpegang pada kebiasaan
masyarakat madinah dalam takaran zakat fitrah, hal ini dapat dibenarkan karena
tentu saja Nabi dan para sahabat telah mempreaktekannya berkali-kali hingga
menjadi suatu kebenaran yang dharury, hal ini pun disadari oleh Abu
Yusuf, salah seorang murid Imam Abu Hanifah, karenanya setelah ia mengetahui
bahwa semua takaran zakat fitrah di madinah sama, ia langsung menyadari
pemahaman Abu Hanifah dalam hal ini salah.
4) Ketetapan Imam Malik bahwasanya tidak boleh shalat
janazah di kuburan bagi orang yang telah luput shalat janzah. Ketika ditanya
oleh Ibnu Qasim; “bagaimana dengan hadits yang datang dari Nabi bahwa beliau
shalat di atas kuburan seorang wanita?”.
Imam Malik menjawab: “Telah datang hadits, akan tetapi tidak ada pengamalan
atasnya”
5) Begitu juga ketetapan beliau atas bolehnya menjual emas
dengan emas dengan takaran berdasarkan kebiasaan masyarakat
Madinah, karenanya ia tidak memandang jelek bagi salah seorang penjual yang
menukarkan 10 dinar dengan 9 dinar secara kontan, padahal ada hadits masyur
dari Nabi yang melarang hal tersebut, karena hal tersebut bisa masuk dalam
kategori riba fadhl, (الموطّأ:
2/632)(الدينار
بالدينار ... لا فضل بينهما) bahkan
terdapat perintah agar jual beli atas emas dengan emas, perak dengan perak
tidak terjadi kecuali (متماثلين) sama baik
dalam karat & timbangan secara kontan.
Tarjih:
Kebenaran pendapat Imam Malik dalam hal yang pertama
tidak dapat disangsikan lagi, akan tetapi untuk masalah yang kedua perlu ditafsiil/diperinci.
Jika aqidah umat Islam masih lemah, maka pendapat Imam Malik merupakan suatu
bentuk (سدّ الذرائع) yang merupakan
suatu qaidah yang sangat bagus, akan tetapi jika masyakat Islam telah memiki
aqidah yang kuat, maka dalam hal ini pendapat Imam Malik kurang tepat dan dapat
mengakibatkan terbuang/tidak terpakainya banyak hadits yang merupakan amal
Rosul yang tidak diketahui masyarakat Madinah.
Atas dasar inilah maka Imam Al-Laits
bin Sa’ad dan Imam Asy-Syafi’i (keduanya murid beliau) banyak mengkritisi
tingkat kevalidan kaidah Ushul beliau. Hal ini terutama ketetapan beliau atas
jual beli emas dengan emas, yang jika kita qiyaskan ke zaman sekarang adalah
jual beli uang kertas (misal Rp 100.000) dengan uang recehan, di mana uang
recehan yang ditukarkan lebih sedikit (Rp 90.000) dibanding nilai uang
kertasan, hal ini dilakukan dikarenakan si penukar mengetahui bahwa sang
pemilik uang kertasan membutuhkan uang recehan hingga bersedia jika dikurangi
nilai tukarnya. Dan hal ini masuk ke dalam riba fhadl, suatu
jenis riba yang juga diharamkan oleh Nabi.
·
Sementara
untuk kaidah ushul qiyas Imam Asy-Syafi’i, Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah
mengakui validitasnya, bahkan dalam jilid ke 2 dalam kitabnya I’laamul
Muwaqqi’in ‘an Robbil ‘aalamin, Ibnu Qoyyim memberi judul “Penjelasan
bahwa sesungguhnya dalam syari’at tidak ada yang menyelisihi qiyas, adapun
sangkaan orang atas penyelisihannya terhadap qiyas tidak lepas dari 2 keadaan
yang tidak mungkin lepas darinya; apakah qiyasnya yang fasid, atau hukum
tersebut tidak ditetapkan oleh Nash Syara’”, akan tetapi sering kali
pengikut mazhab Asy-Asyafi’i sendiri ketidak mampu mendudukan qiyas hingga
menyebabkan lahirnya qiyas fasid,
karenanya perlu kita dudukan dahulu pembagian qiyas setelah itu
menjelaskan qiyas yang shahih dan yang fasid beserta contohnya;
1) (قياس العلّة) qiyas atas dasar sebab
Hal ini sebagaimana firman Allah
tentang penyamaan Nabi Isa dan Nabi Adam dalam hal penciptaan(آل
عمران:59)(إنّ مثل عيسى عند الله كمثل آدم خلقه من
تراب...), karenanya bagaimana mungkin memungkiri wujud Nabi Isa yang
tidak mempunyai ayah orang yang menetapkan bahwa Nabi Adam terwujud tidak
mempunyai bapak dan ibu (maksud beliau bantahan atas orang yahudi yang menuduh
mariam telah berzina dengan yusuf si tukang kayu, edd).
Allah membantah yahudi melalui qiyas
sebab, jika Nabi Adam saja terwujud dengan tanpa ayah ibu, maka lebih
mungkin Nabi Isa terwujud hanya degan seorang Ibu.
Begitu juga dalam surat Ali ‘Imran:
137, Al-An’am: 6, Allah menjadikan kehancuran negeri-negeri terdahulu sebagai
ancaman atas negeri yang sesudahnya (kita), hal ini karena terdapat suatu
prinsip sebab yang sama, yaitu; dosa-dosa merupakan sebab yang membawa
pada kehancuran.
2) (قياس الدّلالة) qiyas atas dasar petunjuk; yaitu menggabungkan antara
asal (premis mayor) dan cabang (premis minor) dengan dalil sebab dan keharusannya.
Hal ini sebagaimana firman Allah (يس:78-82)(الذي
جعل لكم من الشجر الأخضر ناراً فإذا أنـتم منه توقدون) yang menceritakan bahwa Allah
berkuasa menciptakan kembali tubuh-tubuh mereka setelah penciptaan yang
pertama, kemudian memberikan contoh bahwa Ia mampu mengeluarkan orang-orang
yang mati dari kubur mereka sebagaimana ia mengeluarkan api dari pohon yang
hijau. Jika mengeluarkan api dari pohan yang hijau saja Ia mampu (dan ini lebih
sulit) maka mengeluarkan jasad yang mati yang sebelumnya telah tercipta lebih
mudah.
3) (قياس الشبه) qiyas atas
dasar keserupaan
Hal ini sebagaimana firmanNya dalam
kisah saudara Nabi Yusuf di mana mereka berkata ketika mendapatkan piala dalam
kantung saudara mereka (يوسف:77)(إن يسرق فقد
سرق أخ له من قبل), di sini tidak digabungkan dengan sebab dan petunjuk antara
asal dan cabangnya kecuali perkiraan keserupaan sifat. Dan ini merupakan
qiyas yang fasid. Karena hanya merupakan perkiraan yang tidak
menggunakan petunjuk yang jelas ataupun sebab yang nyata.
Begitu juga firmanNya (الأحقاف:32) (ما
نراك إلاّ بشراً مثلنا) di mana orang kafir mengambil
pelajaran dari kesamaan bentuk fisik dan menjadikannya dalil atas penyerupaan
bagi yang lainnya. Yaitu sebagaimana kami tidak dapat menjadi rosul, maka
begitu juga kalian tidak akan bisa. Hal ini mirip juga dengan (البقراة
: 170)(...
قالوا بل نتّبع ما ألفينا عليه آيائنا), penyerupaan orang kafir,
sebagaimana mereka tidak mampu mendapatkan hidayah kecuali atas apa yang
didapatkan dari nenek moyangnya, maka begitu juga mereka menyamakan orang yang
beriman tidak mungkin bisa mendapatkan hidayah kecuali melalui cara yang mereka
tempuh, karenanya Allah menjawab ; “ (apakah mereka akan mengikutinya juga)
walaupun nenek moyang mereka tidak berfikir dan tidak memperoleh petunjuk”. Dan
ini merupakan suatu kebodohan yang nyata.
4) (قياس الطرد و
قياس العكس) qiyas yang menghendaki penetapan hukum dalam furu’ (cabang)
karena tetapnya sebab dalam ushul(dasar)nya. Dan qiyas yang menghendaki
peniadaan hukum dalam cabang karena tidak adanya sebab hukum pada ushul/dasarnya.
Hal ini (qiyas pertama) sebagaimana
firmanNya tentang perumpamaan antara seorang mu’nin san kafir (النحل:75)(ضرب الله
مثلا عبداً مملوكاً لا يقدر على شيءٍ و من رزقناه منّا رزقاً حسناً فهو ينفق منه
سراّ و جهراً ...) Ia memperumpamakan seorang mu’min dalam kebaikan yang Allah
anugerahi akan menggunakannya dalam jalanNya, baik secara sembunyi maupun
terang-terangan, sementara seorang kafir seperti seorang budak yang dikuasai
(hawa nafsu) yang lemah yang tidak mampu berbuat suatu kebaikan, karena memang
tidak ada kebaikan pada dirinya sendiri.
Kemudian Allah membuat suatu perumpamaan bagi dirinya
dengan sesembahan selainNya(النحل:76) (و ضرب الله مثلا رجلين أحدهما أبكم لا يقدر على
شيءٍ و هو كلٌّ على مولاه أينما يوجّهه لا يأت بخير هل يستوى ومن يأمر بالعدل و هو
على صراط مستقيم),
maka berhala yang mereka sembah
seperti seorang laki-laki yang tuli (dalam hal mendengar permintaan hambanya)
yang tidak berakal dan tidak mampu berbicara, di samping ia lemah tidak mampu
berbuat sesuatu sedikitpun, maka bagaimana mungkin ia dapat mendatangkan
kebaikan dan memenuhi kebutuhan hambanya. Dan Allah yang Maha Hidup, Maha
Berkuasa dan Maha Berbicara (المتكلّم), yang mememerintahkan keadilan,
dan Ia ada dalam jalan yang lurus, ini merupakan sifat bagiNya yang merupakan
akhir kesempurnaan dan pujian, karena perintahnya untuk berbuat adil mengandung
pengertian bahwa Ia Maha Berilmu, ridho atasnya, memerintahkan hambaNya,
mencintai para pelakunya, tidak memerintah pada keburukan (mafhum mukholafah),
bahkan suci dari setiap keburukan baik itu kezhaliman, kebodohan, kebatilan,
kemelencengan. Bahkan perintah dan syari’atNya semua adalah keadilan yang
terefleksikan dalam perintah syar’i dieny dan perintah qodar kauny.
Dan Ia berada pada jalan yang lurus, ini seperti sabda Rosul (أحمد:
1/391)(... إنّ ربى على صراط
مستقيم),
karenanya Ia adil dalam keputusannya, dan sifat Maha BerkuasaNya tidak
bertentangan dengan sifat keadilanNya, karenanya sangat bodoh orang yang
mengatakan Allah Maha Berkuasa, yang dengan itu orang berdosa dapat langsung
masuk surga dan dapat meng’azab orang yang taat beribadah hingga husnul
khatimah jika Ia kehendaki, karena bagaimana mungkin sifat kehendakNya
bertentangan dengan sifat keadilanNya, bagaimana mungkin Ia menghendaki ketidak
adilan padahal padaNyalah sumber keadilan, Maha Suci Ia dari segala persangkaan
buruk orang-orang jahil.
Melalui pembagian ini, maka menjadi jelas bagi kita
bahwasanya qiyas berdasarkan pada keserupaan tidak dapat diterima jika tidak
terdapat sebab atau petunjuk untuk melakukan pengqiyasan. Atas daras inilah
Imam Asy-Syafi’i membuat suatu qaidah (لا قياس فى
العبادة), yang artinya qiyas tidak dapat dilakukan pada jenis ibadah yang
berbeda, akan tetapi dapat dilakukan jika dalam rangka menarik masalah furu’ ke
ushul atau sebaliknya mengembangkan ushul ke furu’.
Contoh:
Kewajiban shalat yang kontinu setiap hari, zakat &
puasa setiap tahun, tidak bisa diqiaskan ke dalam kewajiban haji, karena
kewajiban haji hanya sekali seumur hidup. Begitu pula bacaan shalat tidak bisa
diqiyaskan ke dalam bacaan haji, begitu pula sebaliknya.
Karenanya hal terpenting sebelum menggunakan qiyas adalah
dengan mengetahui hukum asal suatu permasalahan, kemudian melihat pada
perincian dalil hukum asal, apakah terdapat takhsis, bersifat mutlaq
atau muqoyyad dll. Setelah itu baru masalah tersebut diikat oleh dalil yang
khusus tersebut.
Contoh
qiyas shalih;
Ketetapan hukum ‘Umar atas orang yang melihat
dan yang buta dalam diyyat/qishos
Yaitu ada seorang yang menuntun
orang buta kemudian ia (yang mengantar/yg melihat) jatuh ke sumur diikuti oleh
orang buta yang jatuh menimpanya, hingga ia mati bukan karena jatuh dari sumur,
akan tetapi karena tertindih oleh si buta. Maka ‘Umar memutuskan qishos atas si
buta tersebut. Hingga si buta pergi berkeliling negeri sambil bersyair;
“Wahai sekalian manusia, saya
dapatkan kemungkaran
Apakah masuk akal seorang yang buta
dan seorang yang melihat
Keduanya jatuh dan kemudian mati
bersama ?”
Sebagian ahli fiqh berkata: “menurut
qiyas, orang buta tersebut tidak menanggung orang yang melihat itu, karena
dialah yang menuntun si buta ke tempat mereka jatuh, yang menyebabkan ia
menimpa si orang yang melihat itu”.
Adapun menurut Ibnu qoyyim (I’lamul
Muwaqqi’in; 2/344-345) “qiyas yang benar adalah yang sesuai dengan
keputuasan ‘Umar, 1) karena orang yang melihat ketika menuntun si buta
itu adalah atas izinnya, maka efek samping atas sesuatu yang diizinkan tidak
menjadi tanggung jawabnya dan 2)
menuntunnya bisa berhukum sunnah atau wajib, dan orang yang berbuat kewajiban
atau sunah kepadanya tidak mengharuskannya menanggung efek sampingnya. 3) maka
terkumpul padanya 2 keadaan, izin syar’i dan izin si buta yang karenanya
terciptalah 2 kebaikan. Kebaikan secara syara’ dan kebaikan bagi si buta dengan
dituntun, dan tidaklah atas orang yang berbuat kebaikan kesalahan. Sedang si
buta karena menimpahi orang yang melihat itu hingga menyebabkan kematian, maka
ia wajib membayar gantinya, sebagaimana jika ada orang jatuh dari atas sebuah
atap dan menjatuhi seseorang hingga menyebabkannya meninggal. Inilah menurutnya
qiyas yang benar.
Sementara menurut Asy-Syaukany (Nailul
Authar: 7/218-217) dalam mendukung pendapat ‘Umar “hal ini karena si
buta tidak menjatuhi orang yang melihat sebab tarikan orang yang melihat kepada
si buta. Karena jika jatuhnya si buta karena tarikan orang yang melihat, maka
si buta tidak kena diyat”
Menurut kami selain penjelasan Ibnu Qoyyim yang begitu
baik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Pertama.
Kesediaan si buta untuk dituntun menunjukan telah terjadi aqad kesepakatan dan
muslim tergantung pada syaratnya (المسلم على شروطه) yang dalam hal ini berarti si buata siap menerima segala
resiko sebagaimana dinyatakan Imam Ibnu Qoyyim. Kedua. Setiap aqad mengharuskan terjadinya pengupah
dan yang diupah atau penanggung dan yang ditanggung. Dalam hal ini keberadaan
si buta seperti si pengupah/penanggung dan yang melihat seperti yang diupah/
yang ditanggung. Karenanya kematian si penuntun harus ditanggung oleh si buta.
Satu hal yang perlu diperhatikan di sini, tetap saja ada
perbedaan apakah ijtihad ‘Umar telah sesuai dengan qiyas atau tidak,
sebagaimana dijelaskan penentuan qiyas menuntut suatu ketelitian dan kehati-hatian
yang tinggi, karena kesalahan dalam menetapkan furu’ ke hukum asal
memerlukan kesempurnaan ilmu ma’unah dan ‘inayah Allah.
Contoh qiyas fasid;
Allah telah menjadikan kafarat
bagi orang yang melakukan jima’ di siang hari (saat puasa), hal ini
tidak dapat diqiyaskan dengan orang yang melakukannya ke duburnya, hal
ini karena yang pertama melanggar karena ada sebab yang menghalangi, karena
hukum asalnya adalah halal, sedang yang kedua melanggar secara mutlak, yaitu
dari hukum asal telah jelas larangan bahkan laknat dari Rosul.
Begitu juga hukum kafarat
tidak dapat diqiyaskan kepada sesuatu yang secara asal haram, seperti; zina,
minum khamr, menuduh wanita shalihah, mencuri, karena kafarat hanya berlaku
bagi suatu amal yang pada asalnya mubah dan tidak berlaku pada sesuatu yang
pada hukum asalnya haram. (اعلام
الموقعين: 2/386-387). Dan untuk melakukan sesuatu yang haram ada hukum tersendiri,
yaitu hukum had, apakah tergolong jinayah ataukah hukum ta’zir.
~
فى الأمر و النّهى (dalam perintah dan larangan)
/ Pengertian ma’na perintah
1)
jika nabi memerintahkan
sesuatu dan memberi ancaman dengan neraka bagi yang tidak melaksanakan
perintahnya, para ‘ulama sepakat menafsirkan perintah tersebut sebagai
kewajiban.
2)
jika nabi memerintahkan
sesuatu dan tidak menyelisihi melalui perkataan/perbuatan yang berbeda, maka
para ‘ulama menafsirkan perintah di sini bersifat wajib.
3)
Jika Nabi memerintahkan
sesuatu dan kemudian menyelisihi baik melalui perkataan dan perbuatan, maka
para ‘ulama menafsirkan perintah di sini bersifat sunnah
4)
Jika Nabi memerintahkan sesuatu,
kemudian memerintahkan sesuatu yang berbeda pada saat yang lain, maka para
‘ulama menafsirkan perintah tersebut bersifat suatu keutamaan.
Contoh:
·
Mayoritas ‘ulama (Imam Ahmad,
Bukhory, para ‘ulama abad ini seperti Syaikh Bin Baz, Albany dll) memaknai
perintah sholat jama’ah sebagai wajib, hal ini berdasarkan pada kisah sahabat
yang buta (Ibnu Ummi Maktum) dengan rumah yang jauh dari masjid meminta izin
untuk absent shalat jama’ah, setelah nabi bertanya tentang apakah ia
mendengar azan, dan dijawab ya, maka nabi bersabda (فـأجب), ditambah ancaman nabi untuk
membakar rumah orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah (HR.Bukhory;
no.644)—dalam hal ini Imam Bukhory bahkan memberi judul dengan “Bab wajibnya
Shalat Berjama’ah” dan perintah shalat jama’ah pada walaupun dalam kondisi
takut (perang) (النّساء: 102), karenanya
perintah ini menadi lebih kuat lagi pada saat tenang/aman,
sehingga mereka mena’wili hadits tentang keutamaan dan tingkatan pahala sholat
berjama’ah sebagai suatu keutamaan berjama’ah yang tidak menunjukan bolehnya
sholat wajib di rumah. Karenanya mereka memandang walaupun shalatnya tetap sah,
orang yang shalat di rumah telah berdosa.
·
Imam Asy-Syafi’i memandang
sholat berjama’ah di masjid hukumnya Sunnah mu’akkadah / yang sangat
ditekankan berdasarkan hadits keutamaam berjama’ah (HR.Bukhory: 645)(صلاة الجماعة تفضل الصلاة الفذّ بسبعٍ و عشرين درجة ). Yang perlu diperhatikan atas
pendapat Imam Asy-Syafi’i bahwasanya sunnah mu’akkadah adalah dengan
maksud agar hal itu jangan diremehkan, sebaliknya harus senantiasa dilazimkan.
Tarjih:
Berdasarkan dalil-dali yang ada, maka pendapat mayoritas
‘ulama lebih mendekati keberanan, hal ini karena adanya ancaman Nabi untuk
membakar rumah, tidak memberikan uzur pada rumah yang jauh dan buta selama
mendengar azan, ditambah praktek Nabi dan para sahabat yang tidak pernah shalat
sendiri/selalu berjama’ah di masjid. Walau begitu, pendapat Imam Asy-syafi’i pun
patut diperhitungkan mengingat ada izin dari Nabi bagi orang yang memang masih
mempunyai kesibukan untuk tidak ke masjid, (سلسلة
الأحاديث الصحيحة:no
1831) (…tunjukan bagiku sesuatu yang apabila aku kerjakan sudah cukup bagiku,
sabda Nabi: “Jagalah shalat ‘Ashrain (shalat sebelum terbit matahari dan
shalat sebelum tenggelamnya matahari)”.
/ Pengertian makna larangan
5)
jika nabi melarang sesuatu
dan memberi ancaman dengan neraka bagi yang melaksanakan nya, para ‘ulama
sepakat menafsirkan larangan tersebut sebagai keharaman.
6)
jika nabi melarang sesuatu
dan tidak menyelisihi melalui perkataan/perbuatan yang berbeda, maka para
‘ulama menafsirkan larangan di sini bersifat haram.
7)
Jika Nabi melarang sesuatu
dan kemudian menyelisihi baik melalui perkataan dan perbuatan, maka para ‘ulama
menafsirkan larangan di sini bersifat makruh.
8)
Jika Nabi melarang sesuatu,
kemudian memerintahkan sesuatu yang berbeda pada saat yang lain, maka para
‘ulama menafsirkan larangan tersebut bersifat suatu keutamaan.
Contoh:
·
Syaikh Al-Albaani memaknai
larangan minum sambil berdiri (مسلم no: 2026)(لا يشربنّ أحد منكم قائما) sebagai haram, hal ini dengan
didukung oleh hadits lain yang menyatakan peringatan Nabi atasnya (لو
يعلم ... ما فى بطنه لاستقاء), “seandainya
orang yang minum sambil berdiri mengetahui apa yang ada di dalam perutnya,
tentu dia akan memuntahkannya” (HR.Ahmad: no. 790-7796) sehingga beliau
mena’wili ketika Rosul minum air zam-zam sambil berdiri (HR. muslim: No.2027) adalah kekhususan Nabi, tidak
bagi umatnya. (سلسلة الأحاديث الصحيحة : no:175)
·
Imam An-Nawawi sering kali
menggunakan kata larangan untuk maksud karihah tanzih, artinya untuk
menjaga kesucian diri, termasuk pada hal ini,
hal ini terutama menurutnya terdapat hadits yang menyatakan bahwa nabi
pernah minum sambil berdiri yaitu ketika sedang minum air zamzam (أنّ
النبي شرب من زمزم من دلو منها و هو قائم) karena itu dalam Al-Minhaj syarah muslim beliau
menjadikan perintah memuntahkan bagi yang lupa sebagai sunnah. (المنهاج
شرح صحيح مسلم:13/2501).
Tarjih:
Berdasarkan
dalil tambahan yang dibawakan Syaikh Al-Albani bahwa jika minum sambil berdiri
maka ikut minum bersamanya setan (HR.Ahmad: no. 990, Ad-Darimi:2/121) ditambah
perintah Nabi untuk memuntahkan bagi yang lupa, maka istinbath Syaikh
Al-Albani dalam hal ini lebih tepat. Sehingga sebagian ‘ulama mena’wili
minumnya Nabi sebagai pengkhususan boleh bagi umat minum berdiri jika minum air
zam-zam atau sebagian menafsirkan kekhususan bagi Nabi tidak bagi umatnya.
~
فى الإجتهاد و الفتوى (dalam ijtihad dan fatwa)
/ dalam kategori
fatwa
~
fatwa berdasarkan
fiqh, kehati-hatian (الإحتياط) dan (الحزم) kemantapan
1)
diriwayatkan oleh Al-Kurdary bahwa “Seseorang datang
kepada Imam Abu Hanifah kemudian berkata ‘Aku tidak tahu apakah aku telah
mentalaq istriku atau tidak’ maka Abu Hanifah menjawab: ‘tidak apa-apa
atasmu, hingga engkau yakin telah mentalaqnya” (berdasarkan usul fiqh ما
ثبت باليقين لا يزال بالشك –[sesuatu yang diyakini tidak dapat
dihilangkan oleh keraguan]) kemudian ia mendatangi Imam Ats-Tsaury, maka
Ats-Tsaury berkata: ‘Tidak memadharatkan bagimu ruju’/kembali’, kemudian
ia mendatangi Asy-Syuraik, maka Asy-Syuraik berkata: ‘talaqlah ia, kemudian
ruju’lah kepadanya’
Kemudian ia datang ke Zufar dan
menceritakan beberapa fatwa yang berbeda tersebut, lalu Zufar berkata: ‘Adapun
Abu Hanifah berfatwa berdasarkan fiqh, Ats-Tsaury berdasarkan wara’ dan Syuraik
berdasarkan (الحزم) keteguhan hati/kemantapan,
aku kasih contoh lain, jika seseorang ragu apakah pakaiannya terkena najis atau
tidak, maka Abu Hanifah berkata: ‘tidak apa-apa atasmu sebelum mengetahui
kenajisannya’ dan Ats-Tsaury: ‘jika engkau mencucinya menjadi tidak apa-apa
atasmu’ dan Syuraik: ‘kencingilah kemudian cucilah baju itu’” (مناقب
الإمام الأعظم-الخوارزمى:2/188)
2)
Ikhtilaf antara Syaikh bin Baz dengan syaikh Ibnu
Al-Utsaimin (keduanya adalah guru dengan murid) tentang menggunakan parfum yang
beralkohol. Syaikh bin Baz menyatakan sebaiknya dihindari karena sekarang ini
telah banyak parfum yang non alkohol (مجموع فتوى و
مقالات متنوّعة:10/41), sementara syaikh Ibnu Utsaimin membolehkan, karena alkohol
itu haram dikonsumsi akan tetapi zatnya tidak najis, walaupun begitu beliau pun
mengakui menjauhkan diri dan meninggalkannya lebih utama (مجموع
فتوى شيخ محمّد بن صالح العثيمين:11/250-260)
Tarjih:
Dalam hal ini fatwa berdasarkan fiqh
dan kehati-hatian dapat kita pilah berdasarkan tingkat kemudahan, akan tetapi
bukan berarti kita mencari-cari yang mudah dengan mininggalkan pendapat yang
lebih kuat. Berdasarkan contoh pertama maka lebih baik berpegang pada pendapat
Imam Abu Hanifah, karena fatwa tersebut benar berdasarkan qaidah ushul di
samping lebih memudahkan, sedangkan untuk contoh yang kedua, maka pendapat
Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al-Utsaimin (yang berfatwa berdasarkan kehati-hatian)
lebih utama untuk diikuti, hal ini karena dikhawatirkan hembusan gas alkohol
akan terhirup oleh hidung yang dapat masuk dalam kaidah meminum, di samping
tidak ada kesulitan untuk mencari parfum yang non alkohol.
/ dalam fatwa
masalah kontenporer
~
mengembalikan hukum furu’ ke ushul
Contoh: Masalah
Asuransi
Menurut Afzalur Rahman dalam The
doctrine of Islamic Economics jilid 3, menyatakan bahwa prinsip-prinsip
dalam asuransi sesuai dengan ajaran Islam yang mengajak pada kasih sayang dan
tolong menolong, atas dasar (و تعاونوا على البرّ و التّقوى ولا
تعاونوا على الإثم و العدوان) ia menyatakan kehalalan asuransi
dan mendukung pengembangan asuransi bagi masyarakat muslim.
Sementara syaikh Nashiruddin
Al-Albaany melihat semua asuransi yang ada saat ini berjalan di atas sistem
mengadu nasib/untung-untungan, yang merupakan unsur terpenting judi. Sementara
sistem asuransi yang beliau anjurkan adalah yang menggunakan sistem upah /
isti’jar (الحـاوي من فتوى شيخ
الألبانى:415)
Tarjih:
Perbedaan pendapat keduanya terletak
pada menghubungkan realita yang ada ke dalam dalil umum guna mengikat suatu
masalah kemudian meningkat lagi ke dalam dalil khusus, akan tetapi dalam
mengikat pada dalil umum saja perbedaan keduanya tampak jelas.
Dalam hal ini dalil yang digunakan
Afzalur Rahman terlalu umum sehingga tidak bisa mengikat terlalu jauh atas
kasus-kasus yang ada selain juga mengakibatkan multi tafsir, sementara dalil
yang digunakan syaikh Al-Albany telah masuk ke dalil khusus, hal ini ditambah
kenyataan yang membuktikan dimana sulitnya pengaduan klaim, sistem
hangus atas premi yang terlambat bayar, upaya pemalsuan data dan
pembakaran guna mendapatkan keuntungan dari pembayaran klaim, yang menunjukan
sistem asuransi saat ini semakin menambah permusuhan antar manusia, maka
ijtihad syaikh al-Albany dalam hal ini lebih mendekati kebenaran, karenanya
para ilmuan muslim telah dan terus melakukan kajian yang serius guna melakukan
islamisasi asuransi ini, dan ini merupakan hal yang patus disyukuri.
~
mengembangkan ushul ke furu’
J Belajar mengetahui
tanda-tanda Ijtihad yang salah
~
Jika bertentangan dengan nash-nash syar’i
(Al-Quran, As-Sunnah)
Contoh:
Kesimpulan Imam Abu Hanifah
bahwasanya khamr yang haram hanya dari jenis anggur. Hal ini karena
bertentangan dengan hadits masyhur (كلّ مسكر
حرام),
begitu juga kenyataan bahwa di madinah yang biasa dijadikan khamr adalah
fermentasi kurma. (تفسير ابن كثير: 1/ )
~
Jika hasil ijtihad menghendaki adanya suatu
ijtihad baru, menyebabkannya berputar-putar tidak kembali kepada nash (Al-Quran
dan As-Sunnah)
Contoh:
Ijtihad melafazkan niat yang
merupakan istinbath dari hadits (إنّما الأعمال بالنّيات), hal ini karena mereka mengartikan
(ب) dengan arti ‘dengan’ (مع) ba maiyyah.
Padahal kata (ب) di situ seharusnya diartikan ‘tergantung’ (منوط) ba sababiyyah/lita’liil, hal ini karena hadits itu berhubungan dengan orang yang
hijrah karena menginginkan wanita. Karenanya penafsiran ini menghendaki ijtihad
baru, yaitu bagaimana bacaan niat itu? sehingga munculah berbagai bacaan niat
yang tidak dicontohkan oleh Nabi, para sahabat bahkan para Imam
mazhab/muhaqqiq/fatwa ditambah tidak ada bacaan standar baik minimal maupun
maksimal, bahkan para ahlul waswas melakukan pembacaan niat sambil
mengangkat tangan untuk takbir dengan harus mengingat semua gerakan shalat
hingga salam, jika tidak mampu dianggap tidak sah hingga mereka menghabiskan
kekhusu’an hanya dalam hal ini, bukan pada shalatnya. Berkata Syaikul Islam
Imam Ibnu Qoyyim: “Niat adalah keinginan dan azam atas sesuatu dan tempatnya
di hati tidak berhubungan dengan lisan...” (إغاثة
اللهفان:_ فقه السنّة:1/176). Bahkan jika kita konsisten dengan
pembacaan niat ini, maka ketika akan membelih hewan qurban, akan bersedekah,
berinfak, menafkahi istri, transaksi, tidur, makan, sumpah, janji, kafarat,
nikah, thalaq dll maka harus dibuatkan masing-masing bacaan niatnya, padahal
yang ada hanya do’a-do’a—karena semua aspek kehidupan muslim adalah ibadah (و
ما خلقت الجنّ و الإنس إلاّ ليعبدون) di tambah hadits tersebut bersifat
umum dan tidak ada pentakhsis hanya pada ibadah tertentu saja, begitu
juga dengan kata (الأعمال) yang meliputi amal apa saja—yang
tentu akan menjadikan agama ini jadi sulit dari yang semestinya.
~
Jika menyelisihi maqosidus syari’ah
Maqoshidusy syari’ah ditujukan pada lima perkara
(sebagian ‘ulama menjadikannya 6), yaitu;
1) memelihara dien/agama (الذارية:
56)
(وما خلقت الجنّ و الإنس إلاّ ليعبدون)
2) memelihara jiwa (البقرة:
179)
(و لكم فى القصاص لحياة ...) (البقرة: 205)(ولا
تقتلوا أنفسكم)
3) memelihara akal (المائدة:
90)
(...
إنما الخمر و الميسير و الأنصاب و الأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه ...)
4) memelihara keturunan (البقرة:
205)
()
5) memelihara harta (النّساء:
29)
(ياأيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم
بينكم بالباطل إلاّ أن تكون تجارةً عن تراض منكم)
6) memelihara kehormatan (Khutbah haji wada’)
melalui pendefinisian tersebut
menjadi jelas batalnya suatu amal atau ijtihad yang ditujukan bukan untuk
tujuan syari’at;
contoh
/ Menikah merupakan salah satu cara
yang Allah berikan dalam rangka memperoleh keturunan, dan Ia mengharamkan zina
karena terdapat suatu fahisyah, maka orang yang berzina dalam rangka
memperoleh keturunan merupakan suatu bentuk penghancuran terhadap syari’at,
karenanya jelas kebatilannya.
/ Atau mengucapkan syahadat dengan
maksud menjaga darah dan hartanya, bukan untuk mengikrarkan tauhid dengan
sebenarnya, atau menyembelih bukan untuk Allah, tapi untuk sesajen, tumbal, jin
yang masuk ke dalam tubuh dll, untuk lebih detail lihat (الموافقات
فى أصول الشريعة:2/6-...)
Hal ini karena saat ini maqasidusy
syari’ah telah disalah pergunakan oleh kelompok Islam Liberal yang
kebanyakan justru berasal dari kalangan santri
sebagai upaya menghancurkan syari’at Islam.
Contoh:
Menghapusan hukuman rajam
atau jilid bagi yang zina, potong tangan bagi pencuri, menurutnya hal
ini telah melanggar kehormatan manusia, yang hanya dapat dilakukan manusia
purba, begitu pula dengan perintah memakai jilbab menurut mereka karena cuaca
arab yang panas menuntut mereka untuk menggunakan pakaian itu, karenanya ia
bersifat lokal, dan sesuatu yang lokal bukanlah ajaran Islam, karena Islam
universal. و العياذ بالله, sungguh ini adalah kedustaan yang
nyata.
~
Jika menyelisihi ilmu dharury
Contoh:
Kesimpulan sebagian orang yang
menyatakan bahwa “Seseorang yang menggunakan kondom tidak termasuk dalam
kategori zina, karena terdapat suatu penghalang”. Padahal secara dhorury
(ilmu yang didapat secara langsung tanpa melalui belajar) manusia mengakui
secara pasti hal itu termasuk perzinahan.
الفرق بين الإجتهاد و الترجيح (Perbedaan
antara ijtihad dan tarjih)
Perbedaan mendasar dalam ijtihad dan tarjih adalah dalam
hal logika berfikir; jika ijtihad menggunakan logika deduktif, maka tarjih
menggunakan logika induktif.
![]() |
||||||||||||||||
![]() |
![]() |
|||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||||
|
||||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||||
![]() |
Akan tetapi keduanya memiliki titik
temu, yaitu menggunakan proses tarjih atas berbagai dalil yang ada,
perbedaannya hanya dalam hal permasalahan ijtihad diambil dari suatu
praktek/perkara yang ada di lapangan / tataran kehidupan manusia yang
senantiasa berkembang dan ushul/furu’ masalah tersebut telah ada dalam Kitab
Allah dan sunnah rosulnya, sedang tarjih diambil dari suatu perbedaan
pendapat/perdebatan ilmiah antar para ‘ulama atas suatu ketetapan hukum
(ushul/furu’), karenanya secara umum seorang yang melakukan tarjih dapat juga dikatakan
sebagai mujtahid.
أهمّ السبب فى اختلاف أئمّة المذهب (Penyebab terpenting ikhtilaf para
Imam Mazhab)
Hal fundamental yang menyebabkan
terjadinya ikhtilaf pada Imam Mazhab adalah belum terkodifikasi/ terbukukannya
Al-Hadits secara maksimal, ‘ulama yang pertama kali melakukan pembukuan hadits
adalah Abu Bakar bin Ibnu Hazm dan Az-Zuhri atas perintah Khalifah ‘Umar bin
‘Abdul ‘Aziz, diikuti oleh Ibnu Juraij di Makah, Ibnu Ishaq dan Imam Malik di
Madinah, sufyan ats-tsauri di kufah, diikuti oleh Imam Asy-Syafi’i dan Imam
Ahmad, selanjutnya Imam Bukhory, Muslim (disebut juga shahihain, syaihon,
muttafaq ‘alaih, keduanya kitab tershahih dalam hadits, lebih
dari ribuan ‘ulama yang memberikan kesaksian akan hal ini). Lalu Imam Abu
Dawud, An-Nasa’i At-Tirmidzi— ke 5 kitab hadits tersebut disebut ushulul
khomsah—dan Ibnu Majah (terkenal dengan sebutan Imam yang empat jika
digabungkan dengan Abu Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmizi karena nama kitabnya
sama yaitu As-Sunan disamping tingkat kesahihan haditsnya lebih tinggi dari
yang sesudahnya, disebut kutubu sittah jika digabungkan lagi dengan
Bukhory Muslim) untuk Sunan Ibnu Majah, para ‘ulama masih ikhtilaf tingkat
keshahihannya dengan kitab Al-Musnad karya Imam Ahmad, Al-Muwatho
milik Imam Malik dan Al-Muntaqo milik Ibnu Jarud. Syaikh Ahmad syakir
lebih setuju jika kutubus sittah adalah Al-Muntaqo ibnu Jarud
menggantikan posisi sunan Ibnu majah, sementara Razin As-sarqasthy lebih
mendukung kitab Al-Muwatho dan inilah yang dimaksud kutubus sittah oleh
Ibnul Atsir dan yang lainnya lebih mendukung Al-Musnad Imam Ahmad dan sunan
ad-Darimi.
Lalu diikuti oleh Imam-imam lainnya,
seperti sunanul kubra milik Baihaqy, misbahus sunnah oleh
Al-Baghawi, Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim,
Ibnu Hibban, Ad-Daruquthni dan ath-thabrani.
Karena itulah setelah zaman
pembukuan hadits, yang muncul adalah para Imam jarh wa ta’dil yang
meneliti sanad/pembawa berita, muhaqqiq yang menelusuri kesahihan suatu
hadits, hal ini karena mereka memandang bermazhab pada salah satu pandapat Imam
tidak dibutuhkan lagi, dikarenakan berbagai masalah telah terbukukan dalam
kitab-kitab hadits—dalam hal ini tinggal 1 masalah lagi yang hampir dapat
dirampungkan yaitu penyatuan qaidah ushul fiqh yang telah diusahakan secara
maksimal oleh Imam Ibnu Qoyyim dan Imam Asy-Syathibi dalam Al-Muwaafaqat
dan diikuti oleh ‘ulama mu’taakhir—karenanya yang terpenting selanjutnya adalah
mentahqiq dan mentarjih pendapat-pendapat para Imam mazhab, serta
melakukan ijtihad atas masalah-masalah baru yang timbul dalam kehidupan
manusia. ‘ulama tahqiq inilah yang lebih patut untuk berijtihad
dan melakukan fatwa.
درجة
الترجيح (Tingkat kebenaran tarjih)
Suatu hasil tarjih
mempunyai derajat yang berbada-beda sesuai dengan tingkat kepastian khabar
yang diperoleh dari Nabi, hal ini bisa 50 : 50, artinya antara yang rajih
dan marjuh mempunyai tingkat yang kekuatan yang sama, dalam hal ini maka
teknik penggabungan atau tawaqquf yang dapat dilakukan ‘ulama.
Nilai paling tinggi bagi suatu tarjih adalah 99 : 1, artinya 99 % kemungkinan
hasil tarjih benar dan kemungkinan 1 % dalil yang dimarjuhkan benar, dan
ini sangat sulit jika tidak dikatakan hampir mustahil. Karenanya walau bagaimana
pun ada suatu kemungkinan kesalahan dalam tarjih, atas dasar inilah para
Imam Mazhab mengakui pendapat yang lain, sebagaimana ucapan Imam Asy-Syafi’i: “Pendapatku
ada benarnya tapi ada kemungkinan salahnya. Pendapat orang lain salah akan
tetapi ada kemungkinan benarnya”. Hal ini harus difahami bahwa Imam
Asy-Syafi’i dan imam lainnya adalah seorang mujtahid mutlaq yang telah
mengerahkan segala kemampuannya dalam menghasilkan suatu kesimpulan hukum yang
berbeda dengan para imam lainnya, jika para muqollid yang tidak
mengetahui suatu dalil saja yakin atas kebenaran pendapatnya—padahal di atas
kebodohan, karena yang dianjurkan ‘ulama adalah muttabi, mengikuti suatu
pendapat dengan mengetahui dalilnya—maka seorang Mujtahid yang secara maksimal
meneliti kebenaran lebih berhak lagi mengakui kebenaran pendapatnya.
تمّ بحمد الله، عفاني
الله و إياّكم
COMMENTS