Beberapa Faktor Terjadinya Ikhtilaf ‘Ulama

(Beberapa Faktor Terjadinya Ikhtilaf ‘Ulama) Pendahuluan                 Terjadinya ikhtilaf di kalangan ‘ulama merupakan suatu kem...


(Beberapa Faktor Terjadinya Ikhtilaf ‘Ulama)

Pendahuluan
                Terjadinya ikhtilaf di kalangan ‘ulama merupakan suatu kemestian yang bersifat syar’i, hal ini karena banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi suatu istinbath hukum. Ikhtilaf bahkan juga terjadi antar para sahabat; antara Abu Bakar dan ‘Umar saat memerangi ahlu riddah, antara ‘Utsman dan Ibnu Mas’ud dalam menjama’ sholat saat haji, antara ‘Ali dan Aisyah, Mu’awiyyah dalam memerangi bughat pembunuh ‘Utsman, antara Ibnu ‘Abbas dan ‘Aisyah dalam hal apakah Nabi telah melihat Allah dll.
                Akan tetapi tentu saja sikap taslim sahabat terhadap Al-Quran dan As-Sunnah telah menjadi jembatan yang kokoh bagi persatuan, sehingga ikhtilaf yang terjadi tidak membawa kepada perpecahan.
                Masalah ikhtilaf ini tentu saja akan terus berlanjut seiring dengan berputarnya waktu/zaman atas berbagai masalah umat yang semakin kompleks, yang karenanya dibutuhkan istinbath hukum dalam rangka memelihara maslahat kehidupan manusia.
                Dalam hal ini, ada 3 sikap manusia dalam menyikapi ikhtilaf;
أنواع الاختلاف على الصفة (pembagian Ikhtilaf berdasarkan sifat perbedaan)
·         (الإفراط) yang terlalu ketat; hal ini dilakukan oleh mereka yang terlalu fanatik terhadap salah satu mazhab atau kelompok (ekslusif) dengan tidak mempertimbangkan hujjah kelompok lain dan menimbangnya berdasarkan ilmu syari’ah.
·         (التفريط) yang terlalu longgar; hal ini dilakukan oleh mereka yang memandang bahwasanya berbagai perbedaan itu sudah suatu kemestian kauny (bedakan dengan kemestian syar’i) yang karenanya dibolehkan bagi siapa saja mengambil istinbath hukum dari berbagai pemikiran yang ada (inklusif), pemikiran ini terkenal dengan istilah Islam Liberal, hal ini bahkan cenderung hingga pembenaran/penyamaan status antara Islam dengan agama-agama lain, bahkan lebih cenderung pada pelecehan terhadap agama Islam.
·         (الوسط) yang bersifat moderat; hal ini dilakukan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu menimbang setiap suatu masalah berdasarkan tingkat kekuatan hujjah / argumentasi yang dilandasi oleh Al-Quran, As-Sunnah, Qoul para Sahabat, Imam Mazhab, kaidah ushul. Sehingga di mana pun kebenaran berada maka mereka adalah orang-orang yang pertama bertaslim/berserah diri atasnya, mereka tidak mengagungkan suatu pendapat Imam mazhab melebihi Al-Quran dan Sunnah (artinya jika ucapan para Imam mazhab bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah maka mereka meninggalkan pendapat imam mazhab dan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah), tidak juga meremehkan para Imam mazhab dengan mengambil istinbath hukum yang tidak mempunyai dukungan penafsiran dari para Imam mazhab/Imam muhaqqiq/Imam fatwa.
                Pada sisi lain ikhtilaf dapat pula dibagi pada sisi fikrah/perspektif;
أنواع الاختلاف على الفكرة / النظارة (Pembagian ikhtilaf berdasarkan fikrah/perspektif)
·         أهل الشريعه و الفقه
                Yaitu orang-orang yang sibuk menggali suatu kebenaran dalam hukum-hukum Allah dari sisi lahiriyyah berdasarkan apa yang diperintahkan, dilakukan dan ditetapkan Nabi, serta apa-apa yang difahami para sahabat dan penafsiran Imam mazhab/muhaqqiq/fatwa kaum muslimin, seperti tata cara sholat, haji, mu’amalah, mujahadah, nazar, adhiyyah dll
·         أهل الكلام و الفلاسفة
                Yaitu orang-orang yang sibuk menggali hikmah, tujuan syari’ah, hukum logika (hukum kausalitas), theology. Selain theology semua ilmu dalam filsafat boleh dipelajari, theology dilarang karena sifatnya yang spekulatif terhadap Allah, sehingga berbicara sesuatu tentang Allah hanya dengan zhan/sangkaan dengan tanpa ilmu dan petunjuk
·         أهل التصوّف و تذكيّة النّفس
                Yaitu orang-orang yang sibuk menggali sumber dorongan nafsu serta mujahadah terhadapnya, memahami bebagai penyakit hati dan upaya pengobatan terhadapnya, menyelami tingkatan penghambaan kepada Allah, upaya penyucian diri dan riyadhoh. Selain Riyadhoh, semua ajaran tasawwuf dianjurkan, riyadhoh yang dilarang adalah yang menghasilkan suatu tata cara ibadah yang baru, baik dalam zikir & tuntunan ibadah dll. Akan tetapi karena banyaknya penyimpangan dalam tasawwuf dengan menciptakan berbagai riyadhoh yang menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, padahal dengan begitu sama saja mereka telah menciptakan syari’at yang baru, maka para ulama Ahlus sunnah pada abad ini lebih senang menggunakan kata ilmu  tazkiyyatun nafs untuk membedakan diri dari berbagai penyimpangan yang ada.
Contoh;
Tidur di liang lahat sebagai upaya mengingat mati, hal ini karena mereka berkeyakinan dengan melakukan hal itu dapat mempererat hubungannya dengan Allah. Sedangkan mempererat hubungan kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan merupakan praktek membuat syariat baru dan ini suatu kelancangan atas agama Allah di mana Allah telah meridho’i Islam sebagai agama yang sempurna (Al-Maaidah: 3).
               
Setiap kelompok menyangka bahwa merekalah yang lebih utama dan meremehkan kelompok yang lain. Sehingga dalam hal ini syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (guru Ibnu Qoyyim, Ibnu Katsir, Az-Zahaby, dll, beliau sering difitnah oleh orang-orang bodoh yang ternyata belum pernah membaca kitab-kitabnya, apalagi pemikirannya) menengahi: “Bahwa apa-apa yang datang dari kitab Allah dan Rosulnya maka itulah kebenaran, dan apa-apa yang menyelisihi keduanya maka itulah yang batil” (اقتضاء الصراط المستقيم: 17)
                Begitu juga Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam syarah kitab tersebut menyatakan bahwa: “Hendaknya kita menerima kebenaran dari kelompok mana saja ia berada, sama saja apakah dari tasawwuf, faqih dan ‘ulama syari’ah... adapun dalam menerima kebenaran, maka (hendaknya) menerima kebenaran dari manusia mana saja, hingga dari yahudi, nashrani, bahkan dari syaithon (pelajaran yang diberikan kepada Abu Hurairoh) bahkan dari musyrikin”.(شرح اقتضاء الصراط المستقيم: 17 ). Baca lebih lanjut penjelasan syaikh al-Utsaimin...!!!
                Kami berkeyakinan bahwa setiap permasalahan dalam ilmu filsafat dan tashawwuf harus ditimbang berdasarkan ilmu syari’at, jika mempunyai dasar maka pengembangan dalam hal ini diperbolehkan, jika tidak maka tidak diperbolehkan. Hal ini didukung oleh Imam As-Suyuthi dalam Miftahul jannah fi ihtijaj bis sunnah; hal. 72, bahwa banyak dari kalangan shufi / tazkiyyatun nafs yang melarang orang yang belum mempelajari ilmu syari’at dengan baik untuk mempelajari ilmu tersebut, karena dikhawatirkan akan melahirkan berbagai metode riyadhoh yang menyerupai stari’at, dan selanjutnya dianggap syari’at oleh generasi sesudahnya.
Contoh:
1)       Penyelidikan ilmiah, hal ini mempunyai dasar yang kuat dalam Al-Quran (..و يتفكّرون فى خلق السماوات و الأرض), di mana kata (أفلا تعقلون) (أفلا تتفكرون) banyak terdapat dalam Al-Quran, karenanya upaya penyelidikan ilmiah melalui berbagai logika induktif, deduktif, analogi, komparasi maupun melalui metodologi eksperimentalis, realis, empiris, sangat dianjurkan, hal ini tentu saja dengan mejadikan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagai pedoman/epistemologi (sumber ilmu) atas berbagai penyelidikan yang dilakukan sehingga menghasilkan paradigma yang benar (إقرا باسم ربّك الذى خلق).
2)       Menyedikitkan makan, hal ini mempunyai dasar dalam ilmu syari’at (HR.Bukhory;5396)   ( يأكل المسلم فى معىً واحدٍ و الكافر يأكل فى سبعةِ أمعاءٍ) “Seorang mu’min makan dalam satu usus sedang seorang kafir makan dalam 7 usus” karenanya pola pengembangan oleh tasawwuf dalam hal ini sangat dianjurkan sebagaimana teori Imam Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin yang di zaman ini dapat disebut sebagai therapy.(إحياء علوم الدّين: 1/966-985). Begitu juga pengembangan therapy atas berbagai penyakit hati, seperti; iri dan dengki yang seringkali menjangkiti suatu masyarakat yang sering mengakibatkan kebencian, rasa permusuhan, fitnah, perpecahan dan hancurnya Ukhuwwah Islamiyyah. Dalam hal ini, tulisan Syaikhul Islam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dalam memperbaiki akhlaq, ruh dan berbagai penyakit hati sangat penting untuk ditekankan.
                Selain itu pembagian ikhtilaf dapat dibagi lagi berdasarkan pada tingkat titik temu atau tidaknya;
أنواع الاختلاف على الموافـقة (Pembagian ikhtilaf berdasarkan titik temu)
~        الإختلاف المضاد  (Ikhtilaf yang kontradiktif)
           Ikhtilaf yang kontradiktif adalah suatu perbedaan pendapat yang tidak dimungkinkan untuk dipertemukan, yang karena sebab dalam ikhtilaf ini dapat menimbulkan perpecahan dalam agama, terjadinya penyimpangan (إنحراف) lafaz maupun ma’na nash, yang karenanya ikhtilaf dalam bidang ini harus diminimalisir, dalam hal ini peran ‘ulama sangat penting dalam menjelaskan suatu kebenaran mengingat kesalahan kecil dalam penafsiran suatu teks dalam hal ini bisa berdampak besar terhadap pola pikir (wordview) seorang muslim. Hal ini biasanya terjadi pada hal-hal berikut ini.

/  Dalam tauhid
o  Dalam masalah zat Allah; sumber perpecahan antara bathiniyyah, hululiyyah dan Ahlus sunnah wal jama’ah
o  Dalam masalah penetapan (الإثبات) tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ wa Sifat; hal ini yang menjadi sebab perpecahan antara jahmiyyah, syi’ah, mu’tazilah, asy’ariyyah dan ahlus sunnah wal jama’ah.
o  Dalam masalah nama dan sifat Allah; sumber perpecahan antara mu’attil (yg meniadakan), musyabbih (yg menyerupakan), ahlut ta’wil (yg menta’wil ke makna lain) dan mukayyif (yg menentukan bagaimananya) dengan ahlus sunnah wal jam’ah.
o  Dalam masalah perbuatan Allah; sumber perpecahan antara qodariyyah, jabariyyah dan ahlus sunnah wal jama’ah
o  Dalam masalah tuntutan (الطلب); yaitu berbagai tuntutan Allah atas makhluknya; tuntutan untuk mencintai Allah melebihi segalanya, memohon pertolongan hanya pada Allah, cinta dan benci hanya padaNya, berkorban hanya padaNya, beribadah hanya kepadaNya, berloyalitas dan anti loyalitas karena Allah dll; sumber perpecahan antara hizbiyyah, Ahlus sunnah, syi’ah-ahlu tawassul.

/  Dalam rukun Islam, Iman dan Ihsan
o  Taslim terhadap rukun Islam
Melaksanakan rukun Islam; sumber perpecahan antara ahlus sunnah dan murjiah, bathiniyyah (bathiniyyah modern, NII dan yang sejenisnya)
o  Taslim terhadap rukun Iman,
~        Masalah Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir: sumber perpecahan antara Nabi-nabi palsu (Musailamah al-Kadzab, Tulaihah, Mirza Ghulam Ahmad [Ahmadiyyah] dll) dengan Ahlus sunnah
~        Masalah qodho & qodar: sumber perpecahan antara qodariyyah-mu’tazilah, jabariyyah, ahlus sunnah.
~        Masalah azab kubur & hari akhir: sumber perpecahan antara mu’tazilah dan ahlus sunnah
~        Iman bertambah dan berkurang; sumber perpecahan antara ahlus sunnah, murji’ah dan khawarij.
~        Masalah dosa; sumber perpecahan antara murji’ah ahlus sunnah dan khawarij.
o  Taslim terhadap rukun Ihsan
~        Tentang melihat Allah di surga: sumber perpecahan antara ahlus sunnah dan mu’tazilah

/  Dalam Manhaj
o  Dalam masalah taslim terhadap As-Sunnah;
~        penolakan kehujahan hadits ahad untuk dasar ‘aqidah; sumber perpecahan antara mu’tazilah dan ahlus sunnah (hizbut tahrir, JIL; neo mu’tazilah)
~        meninggalkan pendapat manusia yang bertentangan dengan hadits; sumber perpecahan antara ahlus sunnah-muttabi dengan hizbiyyah-muqollid.
o  Dalam menjadikan siroh rosul sebagai pijakan dalam berda’wah (فقه السيرة).
~        Menghubungkan masa kekinian dengan mengkiaskan pada sirah Nabi; sumber perpecahan antara ahlus sunnah dan kelompok ifrat (NII yang terlalu ketat hingga menjurus pada tidak adanya penerapan syari’at) dan tafrith (yang bertindak serampangan hingga tidak mempunyai prinsip dalam melangkah).
o  Dalam memahami hukum afiliasi (حكم الإنتماء) dengan benar yang dapat mengeluarkan dari ta’asub dan hizbiyyah.
~        Afiliasi yang mendatangkan cinta dan benci atas kelompok; sumber perpecahan antara ahlus sunnah dan hizbiyyah
~        Bai’at kepada kelompok; sumber perpecahan antara ahlus sunnah dan hizbiyyah
o  Dalam masalah taslim terhadap sunnah Khulafaur Rasyidin.
~        Menerima sunnah khilafah rasyidah; sumber perpecahan antara ahlus sunnah dengan syi’ah dan khawarij
o  Dalam masalah taslim terhadap pemahaman para sahabat selama tidak menentang sunnah
~        Menerima pemahaman sahabat; sumber perpecahan antara salaf dan kholaf
o  Dalam masalah berhubungan dengan penguasa muslim.
~            Dalam masalah kepemimpinan Islam: perpecahan antara syi’ah, khawarij dan ahlus sunnah
~            Ketaatan kepada penguasa muslim yang zhalim; sumber perpecahan antara ahlus sunnah dan khawarij dan syi’ah.

~        الاختلاف التنوّع  (Ikhtilaf yang variatif)
Yaitu suatu ikhtilaf yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan masalah di atas dan dimungkinkan terjadi dikarenakan berbagai sebab seperti; keluasan ilmu, tingkat penafsiran, kedalaman ilmu, perbedaan ushul dll akan tetapi tidak keluar dari manhaj ahlus sunnah, yaitu prinsip-prinsip yang telah disepakati oleh para Sahabat dan para Imam Ahlus sunnah (ini yang menjadi pembicaraan kita);. Hal ini seperti masalah tata cara wudhu, sholat, manasik haji, ibadah mu’amalah dll yang berhubungan dengan istinbath hukum.
                Ikhtilaf ini pun dibagi lagi menjadi 2;
·         Ikhtilaf tarjiih; yaitu ikhtilaf yang tidak mungkin dikompromikan dengan menggunakan teknik penggabungan (طريقة الجمع) yang karenanya menghendaki pemilihan salah satu pendapat antar keduanya (طريقة الترجيح) atau tawaqquf, menghentikan penelitian karena tidak mempunyai kesimpulan.
                Dalam ikhtilaf yang semacam ini, maka berkata Imam Abu Hanifah:
“Setiap mujtahid mendapat bagian ( benar) (المصيب), akan tetapi Al-Haq (kebenaran) di sisi Allah adalah satu. Yaitu mendapat bagian (kebenaran) dalam menelusuri metodologi ijtihad, akan tetapi salah pada hasil akhir ijtihad yang ia tuju” (مناهج التشريع الإسلامي فى القرنى الثانى الهجرى- محمّد بلتاجى:1/284).
                Berkata Syaikh Al-‘Utsaimin:
“Yang benar bahwa dapat dipastikan tidak semua mujtahid memperoleh kebenaran (مصيباً) berdasarkan sabda Nabi ‘Jika seorang hakim berijtihad kemudian menemukan hukum, dan sesuai dengan kebenaran maka baginya 2 pahala, sedang jika salah maka baginya 1 pahala’ … maka atas dasar ini ucapan bahwa ‘setiap mujtahid benar’ merupakan ucapan yang batil… (شرح إقتضاء الصراط المستقيم:51 )
·         Ikhtilaf majazy; yaitu suatu ikhtilaf yang berbeda dalam penjelasan akan tetapi mempunyai titik temu/kesimpulan (konklusi) yang sama jika menggunakan teknik penggabungan (طريقة الجمع). Ikhtilaf seperti ini dimungkinkan terjadi dikarenakan faktor internal (sang penafsir) dan eksternal (teks/masalah yang dihadapi). Hal ini sering terjadi dalam penafsiran Al-Quran maupun Al-Hadits.
Contoh:
1)      dalam Al-Quran penafsiran (الصراط المستقيم) dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud; sebagai “Islam”, oleh Mujahid; “Al-Haq/kebenaran”, Abul ‘Aliyah; “Nabi dan kedua sahabatnya (Abu Bakar & ‘Umar)”, sehingga ketika hal ini disampaikan kepada Al-Hasan (Bashri), maka ia berkata: “Abul ‘Aliyah benar, semua ucapan ini benar dan saling melazimkan, karena barang siapa yang mengikuti Nabi dan 2 orang sesudahnya maka ia telah mengikuti Al-Haq, dan barang siapa yang mengikuti Al-Haq maka ia telah mengikuti Islam, dan barang siapa yang mengikuti Islam maka ia telah mengikuti Al-Quran, yaitu kitab Allah dan ikatan yang kuat dan jalannya yang lurus, karena sesungguhnya barang siapa yang sesuai dengan apa-apa dilakukan dari orang-orang yang telah Allah beri ni’mat dari nabi-nabi, siddiqin(Abu Bakar), syuhada (‘Umar) dan orang-orang shalih (para sahabat)—maksud beliau surat An-Niisa:69, tafsir atas surat al-fatihah ayat ini, edd—maka ia telah sesuai dengan Islam” (تفسير ابن كثير:1/41-42)
2)      dalam Al-Hadits Nabi memberi jawaban yang berbeda untuk satu pertanyaan yang hakikatnya sama (أي الإسلام  أفضل) (أي الإسلام خير), Islam apa yang paling baik?, perbedaan jawaban Rosul dikarenakan psikologi orang yang dihadapinya berbeda, orang pertama; adalah karena sering menyakiti muslim lainnya baik dengan lisan dan perbuatannya (من سلم المسلمون من لسانه و يده) “orang yang jika kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” orang ke dua; adalah karena kurang bershodaqoh dan tegur sapa dengan muslim lain (تطعم الطعام و تقرأ السلام) “engkau memberi makan dan menyebarkan salam” akan tetapi mempunyai makna/inti yang sama.(HR.Bukhory: no.11,12 )
                Karenanya perlu kiranya kita pilah terlebih dahulu suatu ikhtilaf yang dapat membawa kepada perpecahan dan yang tidak, sehingga kita dapat lebih bijaksana melihat suatu perbedaan, terutama saat ini di mana akses terhadap ilmu menjadi lebih mudah, hingga berbagai fatwa ‘Ulama dapat kita baca dengan mudah baik melalui sotfware, program computer, MP3, CD, internet, perpustakaan, kitab, buku terjemahan dll, sehingga ilmu tidak lagi dimonopoli oleh segelintir orang, dan inilah hakikat (و تواصوا بالحق و تواصوا بالصبر) “saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran”. Kata ‘saling’ di sini mengharuskan terjadinya take and give, hal ini didukung oleh kenyataan bahwa tidak ada manusia yang sempurna, karenanya manusia membutuhkan nasehat dalam menuju kesempurnaannya.
                Melihat hal ini, karenanya dibutuhkan kecerdasan bagi umat untuk memilah suatu ikhtilaf yang masih dalam koridor variatif dengan ikhtilaf i’tiqodi yang membawa kepada suatu perpecahan.
·         مصادر الاختلاف (Sumber-sumber ikhtilaf)
Ummat Islam sepakat bahwasanya jika terjadi perbedaan pendapat maka permasalahan tersebut harus dikembalikan kepada Allah dan RasulNya  (آل عمران:103)(فإن تنازعتم فى شيءٍ فردّوه إلى الله و رسوله). Walau begitu berbagai penafsiran atas ayat, pentakhsisan hadits atas suatu ayat, nilai ayat yang bersifat mutlaq atau muqoyyad, ‘aam atau khosh, tujuan syari’at, belum terkumpulnya hadits secara lengkap, ditambah nilai kesusastraan/kebahasaan sering menjadi penyebab ikhtilah di kalangan Imam mazhab. Akan tetapi dikarenakan ikhtilaf di sini tidak menyentuh sesuatu yang prinsip dalam agama, ikhtilaf yang seperti ini sangat mungkin terjadi dan dapat dimaafkan. Akan tetapi hal ini bukan berarti kita berdiam diri atau menolak jika suatu kebenaran datang dari orang lain, karena hal ini dapat menyebabkan kerasnya jiwa, sakitnya hati dalam usahanya mencari ridha Allah, yang berlanjut pada jumud/beku dalam pemikiran, dan hal inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam.

~        فى القرآن (dalam Al-Quran)
/  Dalam qiro’ah; hal ini telah masyhur bahwasanya terdapat 7 bacaan qiro’ah Al-Quran, yaitu Abu `Amr, Naafi`, `Aasim, Hamzah, al-Kisaa’I, Ibnu Katsir, Ibnu `Aamir. Bahwa yang masyhur adalah bacaan Hafs tidak menafikan terdapatnya bacaan-bacaan lain, sebaliknya tidak selayaknya bagi orang yang telah mengetahui bacaan-bacaan lain (seperti bacaan Ibnu Mas’ud, Ibnu Katsir dll) untuk membacanya di hadapan orang awam demi menutup pintu-pintu fitnah. Ilmu ini tidak mempunyai hubungan langsung—sebagian ada hubungan langsung—dengan istinbath hukum.

/  Dalam ilmu alat (nahwiyyah, tashrif, i’rob, balaghoh, ma’any, bayan, badi’); hal ini juga telah masyhur bahwasanya terdapat mazhab bashrah dan kufah dalam ilmu ini, dan yang lebih sempurna pemahamannya adalah mazhab bashrah, akan tetapi tidak menutup kemungkinan benarnya pendapat kufah (dan ilmu ini mempunyai pengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap istinbath hukum)
Contoh:
Menurut mazhab basrah dan siibawaih memandang bahwa jika terdapat 2 ‘amil, maka yang digunakan  dalam isim adalah salah satunya, dan untuk yang lainya dibuang ma’mulnya, karena ia memandang tidak boleh berkumpul 2 ‘amil untuk satu  ma’mul.
Menurut mazhab kufah dan Al-Farraa memandang bolehnya 2 ‘amil berada dalam 1 ma’mul, dan masalah mereka ini masuk ke dalam ayat (ق:17)(عن اليمين و عن الشمال قعيد), sementara ‘ulama mua’sir mempunyai suatu qaidah tambahan bahwa “Kita mengikuti yang termudah selama makna tidak menolaknya”, atas dasar ini mereka menerima pendapat kufah, contoh yang mudah atas ini adalah  sbb; (قدمت و أكرمت زيداً).

/  Dalam ‘ulumul qur’an (‘Aam-khosh, mutlaq-muqoyyad, manthuq-mafhum, tafsir-ta’wil dll)
Contoh:
Ikhtilaf antara qodhi Al-Zunjani dengan seorang penuntut ilmu dari Shogoni tentang bagaimana jika seorang kafir berlindung di masjidil haram boleh dibunuh atau tidak?, maka orang Shogoni berkata bahwa ia tidak boleh dibunuh atas dasar (البقرة: 191)(و لا تقاتلوهم عند المسجد الحرام جتى يقاتلوكم فيه). Kemudian Al-Zunjany membantahnya dengan mengatakan bahwa ayat itu telah dimansukh (dihapus hukumnya) dengan firman Allah yang lain (فاقتلوا المشركين حيث وجدتم), maka orang Shogoni itu menjawab “Ini tidak layak disanadarkan kepada ilmu seorang qodhy (hakim), karena sesungguhnya ayat ini bersifat umum, sedang ayat yang aku jadikan hujjah bersifat khas (khusus) dan tidak boleh bagi seseorang bekata: ‘Sesungguhnya ayat yang umum /menghapus ayat yang khusus’”. Maka tercenganglah Qodhi Al-Zunjani.(روائع البيان تفسير آيات الأحكام-للشيخ محمّد على الصابونى: 1/232).

/  Dalam tafsir
Contoh:
Ikhtilaf antara Imam Asy-Syafi’i dengan Imam Ahmad-Abu Hanifah-Imam Malik pada ayat (النّساء :43)(أو لامستم النّساء ...), menurut Imam Asy-Syafi’i, menyentuh di situ makna hakiki karena tidak ada illat/sebab dan qorinah/petunjuk yang mengharuskan terjadinya pemalingan makna ke makna majazi, karenanya menyentuh perempuan menurutnya membatalkan wudhu, sebaliknya menurut Imam Ahmad menyentuh di situ bersifat majazy berdasarkan pada ayat (البقراة : 237) (و إن طلّقتموهنّ من قبل أن تمسّوهنّ ...)  dan ()(ثمّ طلّقتموهنّ من قبل أن تمسّوهنّ ...) karenanya menurutnya menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu walaupun berdosa jika bukan mahramnya, karena hukum keduanya memang berbeda.
Tarjih:
Dalam hal ini satu hal yang sangat penting untuk ditekankan, bahwasanya hanya melalui penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran istinbath hukum tidak dapat dilakukan, hal ini karena ayat-ayat Al-Quran masih bersifat general, karenanya sebagaimana perkataan Imam Ibnul Mubarok “Sesungguhnya Al-Quran lebih membutuhkan hadits, dibandingkan hadits terhadap Al-Quran”. Hal ini karena tidak ada suatu permasalahan di dalam Al-Quran kecuali dijelaskan oleh Nabi, baik melalui perkataan, perbuatan maupun ketetapan.
Berdasarkan hal ini, maka hadits dapat menjadi hakim atas masalah perbedaan penafsiran antara para Imam mazhab tersebut. Dan banyak sekali hadits yang menyatakan bahwa Nabi berwudhu kemudian mencium istri-istrinya lalu shalat dengan tidak mengulangi wudhu (HR. Abu Dawud; no.170-173, dengan 10 jalan rawi). Begitu juga dengan hadits yang menyatakan bahwa jika shalat malam ketika hendak sujud Nabi memindahkan dahulu kaki ‘Aisyah. Karenanya dalam hal ini pendapat Imam Malik yang menyatakan menyentuh wanita selama tidak membangkitkan syahwat tidak membatalkan wudhu patut dijadikan pegangan.
Dalam hal ini bahkan Imam Mufassir Ibnu ‘Abbas, syaikhul Muffasir Ibnu Jarir At-Thabary mengartikannya dengan jima’, begitu pula Ibnu Katsir lebih cenderung pada pendapat ini (تفسير ابن كثير: 2/189-191). Begitu juga hasil tarjih syaikh Muhammad ‘Ali Ash-shoobuni dalam tafsirnya (روائع البيان تفسير آيات الأحكام: 489) atas dasar bahwa kata (لامس) jika disandarkan kepada perempuan tidak dapat difahami selain jima’.
Hal ini tentu saja tidak menafikan pendapat Imam Asy-Syafi’i yang dapat dikategorikan berfatwa atas dasar kehati-hatian (الاحتياط)—yang insya Allah dibahas dalam bab fatwa—karena untuk kehati-hatian jika tidak menyulitkan akan lebih baik jika melakukan wudhu lagi.

~        فى السنّة (dalam sunnah)
/  Dalam makna hadits
Contoh:
²     Ikhtilaf para sahabat dalam menafsirkan perintah Nabi untuk sholat di bani quraizhoh (HR.Bukhory:946)(لا يصلّين أحدٌ العصر إلاّ فى بنى قريظة) “Janganlah shalat ashr salah seorang pun kecuali di Bani Quraizhah”. sebagian sahabat mengartikan menunda shalat ashar hingga sampai di Bani Quraizhzoh sebagian lagi mengartikan agar berusaha secara maksimal mungkin agar sampai di Bani Quraizhoh di waktu Ashar, adapun jika waktunya telah datang dan belum sampai maka melakukan shalat pada  waktunya di mana saja berada. Dalam hal ini Nabi tidak menyalahkan salah seorangpun di antara mereka.
Ikhtilaf para sahabat ini sangat jelas, di mana pihak pertama berpegang pada makna zhahirnya perintah sedangkan pihak ke dua berpegang pada illat/sebab bahwa Nabi dan sahabat tidak pernah shalat kecuali tepat pada waktunya (إنّ الصلاة كانت على المؤمنين كتاباً موقوتاً).
²     Ikhtilaf antara Imam Asy-Syafi’i dengan Imam Malik dalam mengulurkan jari telunjuk dalam tasyahud. Imam Asy-Syafi’i memandang bahwasanya mengulurkan jari telunjuk pada saat membaca (أشهد). Sementara Imam Malik memandang membacanya pada saat kata (إلاّ). Sementara ‘ulama mu’assir memandang mengulurkannya pada awal bacaan tasyahud. Hal ini terjadi karena penafsiran terhadap kata (و) dan (ثمّ). Di mana kata wawu menunjukan (معيّة) berberengan, sedangkan kata (ثمّ) menunjukan (للفصل) adanya jeda waktu. Berdasarkan hadits-hadits sbb; (نيل الأوطار:2/301-302).
(...ثمّ قبض ثنتين من أصابعه و حلق حلقةً ثمّ رفع أصبعه فرأيته يحرّكها يدعو له) (HR. Ahmad, An-Nasa’i, Abu Dawud)
(...يضع يديه على ركبيته ثمّ أشار بأصبعه) (سلسله الأحاديث الصحيحه: no. 2245).
(وضع يده اليمنى على ركبته اليمنى و عقد ثلاثة و خمسين و أشار بالسباية) (HR. Muslim: no)
(...و أشار بأصبعه السبابة، و وضع إبهامه على فخذه أصبعه الوسطى و يقلم كفّه اليسرى ركبته) (HR. Muslim: no.)
(ثمّ يرفع أصبعه السبابة التى تلى الإبهام، و باقى أصابعه على يمينه مقبوضة) (HR. Thabrani)
Atas dasar ini maka ikhtilaf para Imam tersebut tidak terlalu penting karena tidak ada dalil yang secara tegas bahwa Nabi memulai memberi isyarat pada bacaan tertentu, akan tetapi dari beberapa hadits ini kita dapat menyimpulkan bahwa Rosul melakukan beragai macam teknik dalam menggenggam jari.
1)      berdasarkan hadits ke 1, 3 dan 4, Nabi membentuk jari lingkaran (jari tengah dan ibu jari, tambahan hadits ke 4) kemudian menggerak-gerakan jari (telunjuk).
2)      Berdasarkan hadits ke 2, 5, Nabi menutup semua jarinya dan memberi isyarat dengan jari telunjuk (tanpa keterangan menggerak-gerakan).
Karena semua hadits tersebut shahih, maka  kita dapat memilih bahkan mengamalkan berbagai teknik tersebut secara berbagantian (طريقة الجمع).

/  Dalam ilmu hadits (matan, sanad, jarh wa ta’dil,  )
Perbedaan dalam ketelitian mempelajari sanad (pembawa berita hadits rosul) mempunyai pengaruh terhadap penshahihahan dan pendho’ifan suatu hadits, yang selanjutnya berpengaruh pada kebolehan atau tidaknya berhujjah dengan hadits tersebut. ‘Ulama yang melakukan penelitian dalam bidang ini disebut Muhaqqiq. Karenanya para ‘ulama tidak menerima penshohihan dari Al-Hakim dan Ibnu Hibban, karena keduanya terkenal tasaahul (bermudah-mudah) dalam mensahihkan sebuah hadits, sebaliknya Ibnu Hazm terkenal sangat mempersulit dalam menerima kesahihan suatu hadits. Karena masalah ini berhubungan langsung kepada derajat hadits, maka contohnya kami gabungkan pada pembahasan di bawahnya.
/  Dalam derajat hadits (shohih-hasan-dhoif-maudhu; ‘aaly, mu’an’an, munqothy, mu’addhol, mursal dll)
Contoh:
Ikhtilaf antara Imam Asy-Syafi’i-Imam Malik dengan, Abu Hanifah-Imam Ahmad dalam qunut subuh. Imam Asy-Syafi’i mendasarkan pada hadits (HR. Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 3/110, Ahmad dalam Al-Musnad 3/162, Ibnu Abi Syaibah Al-Muahannaf 2/312 dan Thahawi dalam Syarah ma’any al-atsar;1/248 )(ما زال رسول الله يقنت فى الصبح حتّى فارق الدّنيا) “Rasulullah selalu melakukan qunut dalam shalat subuh hingga meninggal dunia” sedangkan Imam lainnya menganggap hadits tersebut lemah tidak dapat dijadikan hujjah dikarenakan terdapat Abu Ja’far Ar-Razi yang dikritik oleh para pakar hadits, seperti; Imam Ahmad, Ibnu Al-Madini, Abu Zur’ah, Ibnu Hibban, Ibnu Qoyyim, Syaikh Al-Albany begitu juga dengan hadits (HR.Baihaqi dalam As-Sunan Al-Qubra; 2/201, Daruquthni dalam as-Sunnan; 2/166)(قنت رسول الله و أبو بكر و عمر و عثمان حتّى فارق الدّنيا) “Rosulullah, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman selalu melakukan qunut hingga meninggal dunia” terdapat perawi (penyampai berita) bernama Isma’il bin Muslim al-Makki dan ‘Amr bin ‘Ubaid yang telah dikritik oleh para pakar hadits sepert; Imam Baihaqi, Al-Khatib, Syaikh Al-Albaany.
Sementara Abu hanifah, Abu yusuf, Imam Ahmad menyatakan bahwa Nabi tidak menggunakan qunut subuh terus-menerus menggunakan dalil dari Sa’ad bin Thariq Al-Asyja’i yang bertanya kepada bapaknya (يا أبتِ إنّك قد صلّيت مع رسول الله و أبي بكر و عمر و عثمان و على، أفكانوا يقنتون فى الفجر ؟ قال: أي بنيّ محدث)Wahai bapakku, engkau telah shalat dibelakang Nabi, Abu Bakar, Utsman dan ‘Ali, apakah mereka melakukan qunut di sholat fajar ?, Ia berkata: ‘Wahai anakku, itu adalah bid’ah’” (HR. Tirmidzi; 1292, Ibnu Majah; 1/393, Nasa’i; 3/203-204). Hadits ini telah diterima kesahihannya oleh para Ahli Hadits seperti: Al-Mubarokfuri, Az-Zahabi, Asy-syuyuthi, Imam Ahmad, Syaikh Al-Albaany.
Tarjih:
Perlu kita dudukan dahulu pengertian qunut dalam terminologi ini;
1)      qunut dalam arti khusu’tunduk patuh, terus-menerus ta’at, berdiri lama setelah ruku’
Hal ini sebagaimana firmanNya (Al-Baqarah: 238)(و قوموا لله قانتين) “dan berdirilah (dalam shalatmu) dalam keadaan khusu’” (Ar-Rum: 26) (و له من فى السماوات و الأرض كلّ له قانتون) “Dan kepunyaanNya lah apa saja yang di langit dan di bumi, semuanya tunduk patuh hanya kepadaNya” (Al-Ahzab: 31) (و من يقنت منكنّ لله و رسوله و تعمل صالحا نؤتها أجرها مرّتين) “Dan barang siapa di antara kalian (istri-istri Nabi) yang terus-menerus ta’at kepada Allah dan Rasulnya dan mengerjakan ‘amal shalih, maka Kami berikan kepadanya pahala 2 kali lipat”.hadits Nabi ketika ditanya Shalat apa yang afdhal ?, Rosul menjawab (طول القنوت) (HR. Muslim; 756, Tirmidzi; 387), yang ditafsiri oleh hadits dari Abu Dawud sebagai (طول القيام) memperpanjang dalam berdiri. Begitu pula dalam syarahnya Al-Minhaj oleh Imam An-Nawawi dan Tuhfatul Ahwazy oleh Syaikh Al-Mubaaroqfury.
2)      qunut dalam arti membaca bacaan do’a pada waktu subuh, dalilnya telah disampaikan. Atas dasar ini sebagian ‘ulama menta’wili kalaupun hadits yang dijadikan hujjah oleh Imam Asy-Syafi’i itu shahih maka pengertiannya adalah tunduk, patuh, khusyu’ thu’maninah, terus-menerus ta’at dan berdiri lama dalam ruku’.
3)      qunut dalam arti membaca suatu do’a untuk kebaikan atau suatu keburukan bagi suatu kaum yang dilakukan pada setiap shalat wajib (zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya, Subuh). Hal ini banyak sekali diriwatkan oleh para Imam Hadits, yaitu ketika para quro’ Islam dibunuh oleh orang-orang kafir yang menipu Rosul dengan alasan minta diajarkan Al-Quran. Sehingga Rosul melakukan qunut nazilah selama sebulan, setelah itu menghentikannya—secara implisit mendukung penghentian qunut—. Lihat (HR. Bukhory: 1/204, Muslim; 2/135, Abu Dawud; 1440, Nasa’i; 1/164, Daruquthni; 178, Baihaqi; 2/206, Ahmad; 2/255).
Berdasarkan berbagai dalil yang dikemukakan kita mengetahui bahwasanya kedua pendapat tersebut tidak dapat digabungkan, karenanya harus dipilih salah satu (طريقة التّرجيح), dan dalam hal ini hadits yang digunakan Imam Asy-Syafi’i dhaif/lemah dan bertentangan dengan hadits yang shahih, karenanya pendapat Imam Ahmad, Abu Hanifah lebih utama diikuti.
Dalam ilmu hadits, jika suatu hadits shahih bertentangan dengan hadits yang lebih shahih maka status hadits shahih tersebut berubah menjadi hadits syaz (ganjil), yang kemungkinan besar ditolak dalam berhujjah atasnya, apalagi dalam hal ini hadits yang lemah bertentangan dengan hadits yang shahih, karenanya lebih utama untuk ditinggalkan. Hal ini ditambah kenyataan bahwasanya tidak ada dalil atas bacaan qunut subuh, karena bacaan qunut subuh yang sekarang digunakan adalah bacaan qunut witir sebagaimana hadits yang dibawakan oleh Hasan bin ‘Ali (علّمنى رسول الله كلماتٍ أقولـهنّ فى قنوت الوتر...) “Rosulullah mengajarkanku beberapa kalmiat untuk aku baca ketika qunut witir ...” (HR. Abu Dawud; 1425-1426, Tirmidzi; 464, Nasa’i; 3/248).
Hal ini bukan berarti kita tidak menghormati Imam Asy-Syafi’i, akan tetapi kebenaran lebih utama untuk diikuti, karena sebagaimana ucapan Imam Asy-Syafi’i (إذا صحّ الحديث فهو مذهبى) “Jika hadits itu shahih maka itulah mazhabku”.

~        فى قول الصحابة (dalam ucapan sahabat)
/  Ijma’ shohabat (sukuty, qouly)
Pengertian Ijma
Secara bahasa      : digunakan untuk dua makna
·         (`Azam) niat yang kuat dan ketetapan hati terhadap sesuatu
·         kesepakatan, dikatakan (أجمع القوم على كذا) yaitu mereka bersepakat atasnya. Makna ini menghendaki pada ketetapan hati pula. Perbedaan antara keduanya adalah, pada yang pertama digunakan atas keinginan yang satu dan yang kedua mengharuskan keterbilangan.
Secara Istilah        : kesepakatan pada mujtahid dari umat Nabi Muhammad setelah wafatnya pada suatu masa atas hukum syari’at.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat diketahui bahwasanya suatu Ijma` memilki beberapa kaidah/rukun yang harus terpenuhi, yaitu;
§  adanya kesepakatan, hal ini berakibat pada,
o   Harus disepakati oleh seluruh Mujtahid
o   Sumber ijma` tidak dapat diperoleh dari seorang mujtahid jika keberadaannya tersendiri pada suatu zaman, karena kesepakatan mengharuskan keterbilangan.
o   Bersumber dari pemikiran yang satu dari keseluruhannya. Bagaimana jika keseluruhannya terpolarisasi menjadi 2 pemikiran, apakah artinya mereka tidak boleh mengutarakan pendapat yang ketiga? Inilah yang dikenal sebagai Ijma` murokkab, atau Ijma` adh-Dhamany.
Dalam hal ini Wahbah az-Zuhaily lebih mendukung pendapat bahwa jika memungkinkan penggambaran ijma` maka pendapat tersebut menjadi harus, artinya tidak lagi menghendaki terjadinya pendapat yang lainnya, sebaliknya jika tidak tergambarkan dan maka pendapat tersebut tidak sah, maka mengadakan pendapat yang ketiga menjadi sah. Hal ini menjadi jelas dengan gambaran berikut ini.
Contoh:
Peredaan antar para sahabat dalam hak waris kakek bersama saudara (si mayit), sebagian sahabat berpendapat bahwa Kakek mewarisi seluruh harta si mayit dan menghijab saudara. Sebagian lagi berpendapat bahwa Kakek mewarisi bersama dengan saudara. Akan tetapi kedua kelompok bersepakat jaminan atas pentingnya waris bagi Kakek, maka memunculkan pendapat ketiga yang menyatakan ketiadaan waris bagi kakek tergolong keluar dari Ijma`.
§   
Ijma Sukuty: adalah suatu ijma yang dikatakan/dikerjakan oleh salah seorang sahabat dan tidak ada sahabat lain yang membantahnya
Contoh:
~        Ijtihad Abu Bakar memerangi ahlu riddah, mengirim pasukan ke rumawi.
~        Ijtihad ‘Umar dalam pengumpulan Al-Quran dalam 1 mushaf, menggaji Amirul Mu’minin, pejabat dan prajurit, tidak memotong tangan pencuri di masa krisis, menghentikan pemberian zakat kepada mu’alaf dll.
~        Ijtihad ‘Utsman dalam penyatuan bacaan mushaf.
Ijma Qoauly: adalah suatu ijma yang dinyatakan oleh para sahabat dengan tidak didapati salah seorang pun yang menyelisihinya:
o   Keberadaan zat Allah
o   Pemahaman tauhid Rububiyyah, uluhiyyah dan asma wa sifat
o   Pemahaman perbuatan Allah
o   Ketetapan masalah qodho dan qodar Allah
o   Keharusan taat kepada pemimpin yang muslim baik yang sholih atau fajir
o   Keharusan menghormati Ahlul Badr, ahlu bai’at ridwan, Muhajirin dan Anshor, para sahabat seluruhnya (والذين من بعدهم يقولون ربّنا اغفرلنا و لإخوننا الذين سبقونا بالإيمان و لا تجعل فى قلوبنا غلاّ للذين آمنو ...) dll.

/  Qoul sahabat dalam menafsirkan Al-Quran dan As-Sunnah
Dalam hal ini, para Imam mazhab berbeda pendapat apakah penafsiran para sahabat mutlak harus diterima jika tidak menyelisihi hadits. Yang masyhur di kalangan para Imam mazhab adalah menerima penafsiran para sahabat, terutama jika para sahabat telah sepakat atau suatu penafsiran atau kesimpulan hukum. Hal ini sejalan dengan perintah Rosul (HR. Abu Dawud:VII/46, Tirmizi: II/112-113)(عليكم بسنّتى و سنّة الخلفاء الراشدين) “Berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah khulafa’ul rasyidin...” dan hadits (HR.Bukhory:3650, Muslim:2533 ) (خير الناس قرنى ثمّ الذين يلونهم ثمّ الذين يلونهم) “Sebaik-baik manusia, zamanku, kemudian, yg sesudahnya, kemudian yg sesudahnya”. Selain itu perlu pula didudukan tingkatan keilmuan para sahabat, berdasarkan tingkatannya berdasarkan pembagian Imam Al-Laalika’i (شرح أصول اعتقاد أهل السنّة و الجماعة:1/24). Yaitu; Khalifah Rosyidah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqas, Sa’id bin Zaid, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Ibnu Mas’ud, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’b, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Amr, Abdulah bin Zubair, Zaid bin Tsabit, Abu Darda, dll. Hal ini karena tingkat tafaqquh para sahabat berbeda-beda, seperti; Abu Musa al-Asy’ary mengakui keutamaan Ibnu Mas’ud, ‘Ibnu ‘Umar mengakui keutamaan Ibnu ‘Abbas, dll. Hal ini bukan berarti kita merendahkan sahabat yang lain karena masing-masing mempunyai tempat dan kedudukan di sisi Nabi.

/  Qoul sahabat yang menyelisihi Al-Quran dan As-Sunnah
Begitu juga dalam hal ini, para imam mazhab berbeda pendapat jika penafsiran sahabat atas suatu masalah bertentangan dengan Zahir Al-Quran atau hadits Rosul, dalam hal ini:
o   Ibnu Abi Laily, tidak selalu berpegang pada ucapan sahabat dengan menganggapnya sebagai sumber sayri’, walau kadang beliau mengambil ucapan sahabat. Sehingga ia tidak selalu berpegang dan tidak juga meninggalkannya secara total (المبسوط: 13/11-12).
o   Abu Hanifah, jika sahabat sepakat atas suatu masalah ia mengambil pendapat mereka, akan tetapi jika para sahabat berbeda pendapat ia mengambil pendapat salah satunya berdasarkan ketafaquhannya (المبسوط: 13/11).
o   Al-‘Auza’i, jika ucapan/perbuatan sahabat menyelisi hadits, maka beliau berusaha menta’wili ucapan dan perbuatan sahabat agar sesuai dengan hadits (مناهج تشريع الإسلامى: 1/342).
o   Ats-Tsaury, melalui beberapa studi ada beberapa kemungkinan pandangan Ats-Tsaury jika sahabat berbeda pendapat; 1) Memilih salah satu dari pendapat yang ada 2) Tidak apa-apa menyelisihi pendapat para sahabat jika pendapatnya menyendiri dalam satu masalah tanpa diketahui baginya siapa di antara sahabat yang menyepakatinya dan yang menyelisihinya. Hal ini sama dengan pendapat Ibnu Qoyyim dalam اغاثة اللهفان atas penafsiran Abu Hurairoh dalam memperpanjang anggota tubuh saat melakukan wudhu, karena menurutnya pemahaman yang benar adalah memperpanjang waktu waudhu dengan senantiasa menjaga wudhu ketika batal. Sementara menurut Ibnu Hajar Al-Asqalany, penafsiran dari perawi atas hadits yang dibawanya dapat diterima.
o   Imam Malik, tidak memandang ucapan sahabat sebagai suatu sumber tasyri’ yang diharuskan untuk dipegang, hal ini terutama jika berbagai ucapan dan perbuatan sahabat tidak diamalkan oleh masyarakat madinah, hal inilah yang kemudian sering dikritisi 2 muridnya (Imam Asy-Syafi’i dan Laits bin Sa’ad)
Contoh:
Ketika di atas mimbar ‘Umar bin Khatab membaca ayat sajdah, kemudian beliau turun dan sujud, maka bersujud pula manusia, kemudian pada jum’at lainnya, ketika para mustami’ siap-siap hendak sujud, ‘Umar berkata: “sesungguhnya Allah tidak mewajibkan atas kita hal itu, hanya jika kita mau” ia tidak sujud dan melarang manusia untuk sujud. (الموطّـأ:1/206). Menurut Imam Malik turunnya Imam dari mimbar tidak diamalkan oleh masyarakat madinah.
‘Abdullah bin Al-Hadir pernah menyaksikan ‘Umar membersihkan kutu kudanya padahal ia sedang ihram, kemudian Imam Malik meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar membenci membersihkan kutu kuda saat ihram. Imam Malik memberi komentar: “saya membenci (membersihkan kutu saat ihram) (الموطـأ:1/357-358). Kemudian Imam Asy-Syafi’i mengkritisi pendapat Imam Malik, bahwa apa yang dilakukan ‘Umar telah sesuai dengan sunah, kemudian tidak mungkin menolak pendapat ‘Umar (sahabat) dengan pendapat Ibnu “Umar (sahabat), bahkan jika ingin taqlid, maka ‘Umar (sebagai sahabat senior) lebih layak ditaqlidi (الأم:7/221).
o   Imam Asy-Syafi’i, sepakat dengan Abu hanifah, jika sahabat sepakat atas suatu masalah ia mengambil pendapat mereka, akan tetapi jika para sahabat berbeda pendapat ia mengambil pendapat salah satunya berdasarkan ketafaquhannya.

~        فى الأصول (dalam ushul syari’ah/fiqh)
/  Dalam rumusan ushul fiqh
Tiap Imam mazhab mempunyai ushul yang berbeda-beda, seperti Ushul fiqh Imam Malik yang menjadikan praktek penduduk madinah sebagai standar kebenaran, Imam Abu Hanifah yang menggunakan (حيلة شرعيّة), Imam Asy-Syafi’i yang menjadikan qiyas sebagai rumusan ijtihad/ushul atas masalah-masalah yang timbul yang masing-masing harus diperinci, sehingga ada hal yang dapat diambil dan ada hal yang ditolak, karenanya dalam hal ini sangat diperlukan suatu kajian khusus tentang parameter suatu ushul dapat ditetapkan dan digunakan secara luas ……
Contoh:
1)      Hilah syar’iyyah yang dilakukan Nabi Ayub untuk memukul istrinya dengan 100 kali pukulan, kemudian setelah sembuh ia mengikat 100 lidi dan memukulnya dalam satu pukulan.
2)      Hilah Imam Abu Hanifah. Yaitu ketika datang kepadanya orang yang dalam keadaan junub yang telah bersumpah kepada isrtinya jika ia mandi janabah maka ia akan mentalaq istrinya, kemudian Abu Hanifah membawa orang tersebut ke sungai dan mendorongnya hingga masuk ke sungai. Kemudian Abu Hanifah berkata kepadanya: “Keluarlah dan temui istrimu, karena engkau telah suci dan engkau tidak mandi—yaitu tidak mandi atas dasar keinginanmu, edd” (المناقب الإمام الأعظم-الخوارزمى: 1/163).
Tarjih:                 
Hillah seperti ini dapat digolongkan kepada hilah ghair syar’iyyah, hal ini karena sumpah orang tersebut termasuk sumpah lagwun, yaitu yang menyebabkan seseorang terhalang dari berbuat kebaikan (Al-Baqarah:224-225). Karenanya cukup baginya melakukan kafarat sumpah yaitu dengan melakukan puasa 3 hari berturut-turut, setelah itu halal kembali istrinya baginya.
3)      Ketetapan Imam Malik untuk berpegang pada kebiasaan masyarakat madinah dalam takaran zakat fitrah, hal ini dapat dibenarkan karena tentu saja Nabi dan para sahabat telah mempreaktekannya berkali-kali hingga menjadi suatu kebenaran yang dharury, hal ini pun disadari oleh Abu Yusuf, salah seorang murid Imam Abu Hanifah, karenanya setelah ia mengetahui bahwa semua takaran zakat fitrah di madinah sama, ia langsung menyadari pemahaman Abu Hanifah dalam hal ini salah.
4)      Ketetapan Imam Malik bahwasanya tidak boleh shalat janazah di kuburan bagi orang yang telah luput shalat janzah. Ketika ditanya oleh Ibnu Qasim; “bagaimana dengan hadits yang datang dari Nabi bahwa beliau shalat  di atas kuburan seorang wanita?”. Imam Malik menjawab: “Telah datang hadits, akan tetapi tidak ada pengamalan atasnya”
5)      Begitu juga ketetapan beliau atas bolehnya menjual emas dengan emas dengan takaran berdasarkan kebiasaan masyarakat Madinah, karenanya ia tidak memandang jelek bagi salah seorang penjual yang menukarkan 10 dinar dengan 9 dinar secara kontan, padahal ada hadits masyur dari Nabi yang melarang hal tersebut, karena hal tersebut bisa masuk dalam kategori riba fadhl, (الموطّأ: 2/632)(الدينار بالدينار ... لا فضل بينهما) bahkan terdapat perintah agar jual beli atas emas dengan emas, perak dengan perak tidak terjadi kecuali (متماثلين) sama baik dalam karat & timbangan secara kontan.
Tarjih:
Kebenaran pendapat Imam Malik dalam hal yang pertama tidak dapat disangsikan lagi, akan tetapi untuk masalah yang kedua perlu ditafsiil/diperinci. Jika aqidah umat Islam masih lemah, maka pendapat Imam Malik merupakan suatu bentuk (سدّ الذرائع) yang merupakan suatu qaidah yang sangat bagus, akan tetapi jika masyakat Islam telah memiki aqidah yang kuat, maka dalam hal ini pendapat Imam Malik kurang tepat dan dapat mengakibatkan terbuang/tidak terpakainya banyak hadits yang merupakan amal Rosul yang tidak diketahui masyarakat Madinah.
Atas dasar inilah maka Imam Al-Laits bin Sa’ad dan Imam Asy-Syafi’i (keduanya murid beliau) banyak mengkritisi tingkat kevalidan kaidah Ushul beliau. Hal ini terutama ketetapan beliau atas jual beli emas dengan emas, yang jika kita qiyaskan ke zaman sekarang adalah jual beli uang kertas (misal Rp 100.000) dengan uang recehan, di mana uang recehan yang ditukarkan lebih sedikit (Rp 90.000) dibanding nilai uang kertasan, hal ini dilakukan dikarenakan si penukar mengetahui bahwa sang pemilik uang kertasan membutuhkan uang recehan hingga bersedia jika dikurangi nilai tukarnya. Dan hal ini masuk ke dalam riba fhadl, suatu jenis riba yang juga diharamkan oleh Nabi.
·                    Sementara untuk kaidah ushul qiyas Imam Asy-Syafi’i, Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah mengakui validitasnya, bahkan dalam jilid ke 2 dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in ‘an Robbil ‘aalamin, Ibnu Qoyyim memberi judul “Penjelasan bahwa sesungguhnya dalam syari’at tidak ada yang menyelisihi qiyas, adapun sangkaan orang atas penyelisihannya terhadap qiyas tidak lepas dari 2 keadaan yang tidak mungkin lepas darinya; apakah qiyasnya yang fasid, atau hukum tersebut tidak ditetapkan oleh Nash Syara’”, akan tetapi sering kali pengikut mazhab Asy-Asyafi’i sendiri ketidak mampu mendudukan qiyas hingga menyebabkan lahirnya qiyas fasid,  karenanya perlu kita dudukan dahulu pembagian qiyas setelah itu menjelaskan qiyas yang shahih dan yang fasid beserta contohnya;

1)      (قياس العلّة) qiyas atas dasar sebab
Hal ini sebagaimana firman Allah tentang penyamaan Nabi Isa dan Nabi Adam dalam hal penciptaan(آل عمران:59)(إنّ مثل عيسى عند الله كمثل آدم خلقه من تراب...), karenanya bagaimana mungkin memungkiri wujud Nabi Isa yang tidak mempunyai ayah orang yang menetapkan bahwa Nabi Adam terwujud tidak mempunyai bapak dan ibu (maksud beliau bantahan atas orang yahudi yang menuduh mariam telah berzina dengan yusuf si tukang kayu, edd).
Allah membantah yahudi melalui qiyas sebab, jika Nabi Adam saja terwujud dengan tanpa ayah ibu, maka lebih mungkin Nabi Isa terwujud hanya degan seorang Ibu.
Begitu juga dalam surat Ali ‘Imran: 137, Al-An’am: 6, Allah menjadikan kehancuran negeri-negeri terdahulu sebagai ancaman atas negeri yang sesudahnya (kita), hal ini karena terdapat suatu prinsip sebab yang sama, yaitu; dosa-dosa merupakan sebab yang membawa pada kehancuran.
2)      (قياس الدّلالة) qiyas atas dasar petunjuk; yaitu menggabungkan antara asal (premis mayor) dan cabang (premis minor) dengan dalil sebab dan keharusannya.
Hal ini sebagaimana firman Allah (يس:78-82)(الذي جعل لكم من الشجر الأخضر ناراً فإذا أنـتم منه توقدون) yang menceritakan bahwa Allah berkuasa menciptakan kembali tubuh-tubuh mereka setelah penciptaan yang pertama, kemudian memberikan contoh bahwa Ia mampu mengeluarkan orang-orang yang mati dari kubur mereka sebagaimana ia mengeluarkan api dari pohon yang hijau. Jika mengeluarkan api dari pohan yang hijau saja Ia mampu (dan ini lebih sulit) maka mengeluarkan jasad yang mati yang sebelumnya telah tercipta lebih mudah.
3)      (قياس الشبه) qiyas atas dasar keserupaan
Hal ini sebagaimana firmanNya dalam kisah saudara Nabi Yusuf di mana mereka berkata ketika mendapatkan piala dalam kantung saudara mereka (يوسف:77)(إن يسرق فقد سرق أخ له من قبل), di sini tidak digabungkan dengan sebab dan petunjuk antara asal dan cabangnya kecuali perkiraan keserupaan sifat. Dan ini merupakan qiyas yang fasid. Karena hanya merupakan perkiraan yang tidak menggunakan petunjuk yang jelas ataupun sebab yang nyata.
Begitu juga firmanNya (الأحقاف:32) (ما نراك إلاّ بشراً مثلنا) di mana orang kafir mengambil pelajaran dari kesamaan bentuk fisik dan menjadikannya dalil atas penyerupaan bagi yang lainnya. Yaitu sebagaimana kami tidak dapat menjadi rosul, maka begitu juga kalian tidak akan bisa. Hal ini mirip juga dengan (البقراة : 170)(... قالوا بل نتّبع ما ألفينا عليه آيائنا), penyerupaan orang kafir, sebagaimana mereka tidak mampu mendapatkan hidayah kecuali atas apa yang didapatkan dari nenek moyangnya, maka begitu juga mereka menyamakan orang yang beriman tidak mungkin bisa mendapatkan hidayah kecuali melalui cara yang mereka tempuh, karenanya Allah menjawab ; “ (apakah mereka akan mengikutinya juga) walaupun nenek moyang mereka tidak berfikir dan tidak memperoleh petunjuk”. Dan ini merupakan suatu kebodohan yang nyata.
4)      (قياس الطرد و قياس العكس) qiyas yang menghendaki penetapan hukum dalam furu’ (cabang) karena tetapnya sebab dalam ushul(dasar)nya. Dan qiyas yang menghendaki peniadaan hukum dalam cabang karena tidak adanya sebab hukum pada ushul/dasarnya.
Hal ini (qiyas pertama) sebagaimana firmanNya tentang perumpamaan antara seorang mu’nin san kafir (النحل:75)(ضرب الله مثلا عبداً مملوكاً لا يقدر على شيءٍ و من رزقناه منّا رزقاً حسناً فهو ينفق منه سراّ و جهراً ...) Ia memperumpamakan seorang mu’min dalam kebaikan yang Allah anugerahi akan menggunakannya dalam jalanNya, baik secara sembunyi maupun terang-terangan, sementara seorang kafir seperti seorang budak yang dikuasai (hawa nafsu) yang lemah yang tidak mampu berbuat suatu kebaikan, karena memang tidak ada kebaikan pada dirinya sendiri.
Kemudian Allah membuat suatu perumpamaan bagi dirinya dengan sesembahan selainNya(النحل:76) (و ضرب الله مثلا رجلين أحدهما أبكم لا يقدر على شيءٍ و هو كلٌّ على مولاه أينما يوجّهه لا يأت بخير هل يستوى ومن يأمر بالعدل و هو على صراط مستقيم), maka berhala yang mereka sembah seperti seorang laki-laki yang tuli (dalam hal mendengar permintaan hambanya) yang tidak berakal dan tidak mampu berbicara, di samping ia lemah tidak mampu berbuat sesuatu sedikitpun, maka bagaimana mungkin ia dapat mendatangkan kebaikan dan memenuhi kebutuhan hambanya. Dan Allah yang Maha Hidup, Maha Berkuasa dan Maha Berbicara (المتكلّم), yang mememerintahkan keadilan, dan Ia ada dalam jalan yang lurus, ini merupakan sifat bagiNya yang merupakan akhir kesempurnaan dan pujian, karena perintahnya untuk berbuat adil mengandung pengertian bahwa Ia Maha Berilmu, ridho atasnya, memerintahkan hambaNya, mencintai para pelakunya, tidak memerintah pada keburukan (mafhum mukholafah), bahkan suci dari setiap keburukan baik itu kezhaliman, kebodohan, kebatilan, kemelencengan. Bahkan perintah dan syari’atNya semua adalah keadilan yang terefleksikan dalam perintah syar’i dieny dan perintah qodar kauny. Dan Ia berada pada jalan yang lurus, ini seperti sabda Rosul (أحمد: 1/391)(... إنّ ربى على صراط مستقيم), karenanya Ia adil dalam keputusannya, dan sifat Maha BerkuasaNya tidak bertentangan dengan sifat keadilanNya, karenanya sangat bodoh orang yang mengatakan Allah Maha Berkuasa, yang dengan itu orang berdosa dapat langsung masuk surga dan dapat meng’azab orang yang taat beribadah hingga husnul khatimah jika Ia kehendaki, karena bagaimana mungkin sifat kehendakNya bertentangan dengan sifat keadilanNya, bagaimana mungkin Ia menghendaki ketidak adilan padahal padaNyalah sumber keadilan, Maha Suci Ia dari segala persangkaan buruk orang-orang jahil.
Melalui pembagian ini, maka menjadi jelas bagi kita bahwasanya qiyas berdasarkan pada keserupaan tidak dapat diterima jika tidak terdapat sebab atau petunjuk untuk melakukan pengqiyasan. Atas daras inilah Imam Asy-Syafi’i membuat suatu qaidah (لا قياس فى العبادة), yang artinya qiyas tidak dapat dilakukan pada jenis ibadah yang berbeda, akan tetapi dapat dilakukan jika dalam rangka menarik masalah furu’ ke ushul atau sebaliknya mengembangkan ushul ke furu’.
Contoh:
Kewajiban shalat yang kontinu setiap hari, zakat & puasa setiap tahun, tidak bisa diqiaskan ke dalam kewajiban haji, karena kewajiban haji hanya sekali seumur hidup. Begitu pula bacaan shalat tidak bisa diqiyaskan ke dalam bacaan haji, begitu pula sebaliknya.
Karenanya hal terpenting sebelum menggunakan qiyas adalah dengan mengetahui hukum asal suatu permasalahan, kemudian melihat pada perincian dalil hukum asal, apakah terdapat takhsis, bersifat mutlaq atau muqoyyad dll. Setelah itu baru masalah tersebut diikat oleh dalil yang khusus tersebut.
Contoh qiyas shalih;
Ketetapan hukum ‘Umar atas orang yang melihat dan yang buta dalam diyyat/qishos
Yaitu ada seorang yang menuntun orang buta kemudian ia (yang mengantar/yg melihat) jatuh ke sumur diikuti oleh orang buta yang jatuh menimpanya, hingga ia mati bukan karena jatuh dari sumur, akan tetapi karena tertindih oleh si buta. Maka ‘Umar memutuskan qishos atas si buta tersebut. Hingga si buta pergi berkeliling negeri sambil bersyair;
“Wahai sekalian manusia, saya dapatkan kemungkaran
Apakah masuk akal seorang yang buta dan seorang yang melihat
Keduanya jatuh dan kemudian mati bersama ?”
Sebagian ahli fiqh berkata: “menurut qiyas, orang buta tersebut tidak menanggung orang yang melihat itu, karena dialah yang menuntun si buta ke tempat mereka jatuh, yang menyebabkan ia menimpa si orang yang melihat itu”.
Adapun menurut Ibnu qoyyim (I’lamul Muwaqqi’in; 2/344-345) “qiyas yang benar adalah yang sesuai dengan keputuasan ‘Umar, 1) karena orang yang melihat ketika menuntun si buta itu adalah atas izinnya, maka efek samping atas sesuatu yang diizinkan tidak menjadi tanggung jawabnya  dan 2) menuntunnya bisa berhukum sunnah atau wajib, dan orang yang berbuat kewajiban atau sunah kepadanya tidak mengharuskannya menanggung efek sampingnya. 3) maka terkumpul padanya 2 keadaan, izin syar’i dan izin si buta yang karenanya terciptalah 2 kebaikan. Kebaikan secara syara’ dan kebaikan bagi si buta dengan dituntun, dan tidaklah atas orang yang berbuat kebaikan kesalahan. Sedang si buta karena menimpahi orang yang melihat itu hingga menyebabkan kematian, maka ia wajib membayar gantinya, sebagaimana jika ada orang jatuh dari atas sebuah atap dan menjatuhi seseorang hingga menyebabkannya meninggal. Inilah menurutnya qiyas yang benar.
Sementara menurut Asy-Syaukany (Nailul Authar: 7/218-217) dalam mendukung pendapat ‘Umar “hal ini karena si buta tidak menjatuhi orang yang melihat sebab tarikan orang yang melihat kepada si buta. Karena jika jatuhnya si buta karena tarikan orang yang melihat, maka si buta tidak kena diyat”
Menurut kami selain penjelasan Ibnu Qoyyim yang begitu baik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Pertama. Kesediaan si buta untuk dituntun menunjukan telah terjadi aqad kesepakatan dan muslim tergantung pada syaratnya (المسلم على شروطه) yang dalam hal ini berarti si buata siap menerima segala resiko sebagaimana dinyatakan Imam Ibnu Qoyyim. Kedua.  Setiap aqad mengharuskan terjadinya pengupah dan yang diupah atau penanggung dan yang ditanggung. Dalam hal ini keberadaan si buta seperti si pengupah/penanggung dan yang melihat seperti yang diupah/ yang ditanggung. Karenanya kematian si penuntun harus ditanggung oleh si buta.
Satu hal yang perlu diperhatikan di sini, tetap saja ada perbedaan apakah ijtihad ‘Umar telah sesuai dengan qiyas atau tidak, sebagaimana dijelaskan penentuan qiyas menuntut suatu ketelitian dan kehati-hatian yang tinggi, karena kesalahan dalam menetapkan furu’ ke hukum asal memerlukan kesempurnaan ilmu ma’unah dan ‘inayah Allah.
Contoh qiyas fasid;
Allah telah menjadikan kafarat bagi orang yang melakukan jima’ di siang hari (saat puasa), hal ini tidak dapat diqiyaskan dengan orang yang melakukannya ke duburnya, hal ini karena yang pertama melanggar karena ada sebab yang menghalangi, karena hukum asalnya adalah halal, sedang yang kedua melanggar secara mutlak, yaitu dari hukum asal telah jelas larangan bahkan laknat dari Rosul.
Begitu juga hukum kafarat tidak dapat diqiyaskan kepada sesuatu yang secara asal haram, seperti; zina, minum khamr, menuduh wanita shalihah, mencuri, karena kafarat hanya berlaku bagi suatu amal yang pada asalnya mubah dan tidak berlaku pada sesuatu yang pada hukum asalnya haram.  (اعلام الموقعين: 2/386-387). Dan untuk melakukan sesuatu yang haram ada hukum tersendiri, yaitu hukum had, apakah tergolong jinayah ataukah hukum ta’zir.

~        فى الأمر و النّهى (dalam perintah dan larangan)
/  Pengertian ma’na perintah
Para ‘ulama sering berbeda dalam memaknai arti perintah dalam beberapa kondisi:
1)      jika nabi memerintahkan sesuatu dan memberi ancaman dengan neraka bagi yang tidak melaksanakan perintahnya, para ‘ulama sepakat menafsirkan perintah tersebut sebagai kewajiban.
2)      jika nabi memerintahkan sesuatu dan tidak menyelisihi melalui perkataan/perbuatan yang berbeda, maka para ‘ulama menafsirkan perintah di sini bersifat wajib.
3)      Jika Nabi memerintahkan sesuatu dan kemudian menyelisihi baik melalui perkataan dan perbuatan, maka para ‘ulama menafsirkan perintah di sini bersifat sunnah
4)      Jika Nabi memerintahkan sesuatu, kemudian memerintahkan sesuatu yang berbeda pada saat yang lain, maka para ‘ulama menafsirkan perintah tersebut bersifat suatu keutamaan.
Contoh:
·         Mayoritas ‘ulama (Imam Ahmad, Bukhory, para ‘ulama abad ini seperti Syaikh Bin Baz, Albany dll) memaknai perintah sholat jama’ah sebagai wajib, hal ini berdasarkan pada kisah sahabat yang buta (Ibnu Ummi Maktum) dengan rumah yang jauh dari masjid meminta izin untuk absent shalat jama’ah, setelah nabi bertanya tentang apakah ia mendengar azan, dan dijawab ya, maka nabi bersabda (فـأجب), ditambah ancaman nabi untuk membakar rumah orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah (HR.Bukhory; no.644)—dalam hal ini Imam Bukhory bahkan memberi judul dengan “Bab wajibnya Shalat Berjama’ah” dan perintah shalat jama’ah pada walaupun dalam kondisi takut (perang) (النّساء: 102), karenanya perintah ini menadi lebih kuat lagi pada saat tenang/aman, sehingga mereka mena’wili hadits tentang keutamaan dan tingkatan pahala sholat berjama’ah sebagai suatu keutamaan berjama’ah yang tidak menunjukan bolehnya sholat wajib di rumah. Karenanya mereka memandang walaupun shalatnya tetap sah, orang yang shalat di rumah telah berdosa.
·         Imam Asy-Syafi’i memandang sholat berjama’ah di masjid hukumnya Sunnah mu’akkadah / yang sangat ditekankan berdasarkan hadits keutamaam berjama’ah (HR.Bukhory: 645)(صلاة  الجماعة تفضل الصلاة الفذّ بسبعٍ و عشرين درجة ). Yang perlu diperhatikan atas pendapat Imam Asy-Syafi’i bahwasanya sunnah mu’akkadah adalah dengan maksud agar hal itu jangan diremehkan, sebaliknya harus senantiasa dilazimkan.

Tarjih:
Berdasarkan dalil-dali yang ada, maka pendapat mayoritas ‘ulama lebih mendekati keberanan, hal ini karena adanya ancaman Nabi untuk membakar rumah, tidak memberikan uzur pada rumah yang jauh dan buta selama mendengar azan, ditambah praktek Nabi dan para sahabat yang tidak pernah shalat sendiri/selalu berjama’ah di masjid. Walau begitu, pendapat Imam Asy-syafi’i pun patut diperhitungkan mengingat ada izin dari Nabi bagi orang yang memang masih mempunyai kesibukan untuk tidak ke masjid, (سلسلة الأحاديث الصحيحة:no 1831) (…tunjukan bagiku sesuatu yang apabila aku kerjakan sudah cukup bagiku, sabda Nabi: “Jagalah shalat ‘Ashrain (shalat sebelum terbit matahari dan shalat sebelum tenggelamnya matahari)”.

/  Pengertian makna larangan
Para ‘ulama sering berbeda dalam memaknai arti larangan dalam beberapa kondisi:
5)      jika nabi melarang sesuatu dan memberi ancaman dengan neraka bagi yang melaksanakan nya, para ‘ulama sepakat menafsirkan larangan tersebut sebagai keharaman.
6)      jika nabi melarang sesuatu dan tidak menyelisihi melalui perkataan/perbuatan yang berbeda, maka para ‘ulama menafsirkan larangan di sini bersifat haram.
7)      Jika Nabi melarang sesuatu dan kemudian menyelisihi baik melalui perkataan dan perbuatan, maka para ‘ulama menafsirkan larangan di sini bersifat makruh.
8)      Jika Nabi melarang sesuatu, kemudian memerintahkan sesuatu yang berbeda pada saat yang lain, maka para ‘ulama menafsirkan larangan tersebut bersifat suatu keutamaan.

Contoh:
·         Syaikh Al-Albaani memaknai larangan minum sambil berdiri (مسلم no: 2026)(لا يشربنّ أحد منكم قائما) sebagai haram, hal ini dengan didukung oleh hadits lain yang menyatakan peringatan Nabi atasnya (لو يعلم ... ما فى بطنه لاستقاء), “seandainya orang yang minum sambil berdiri mengetahui apa yang ada di dalam perutnya, tentu dia akan memuntahkannya” (HR.Ahmad: no. 790-7796) sehingga beliau mena’wili ketika Rosul minum air zam-zam sambil berdiri (HR. muslim: No.2027) adalah kekhususan Nabi, tidak bagi umatnya. (سلسلة الأحاديث الصحيحة : no:175)
·         Imam An-Nawawi sering kali menggunakan kata larangan untuk maksud karihah tanzih, artinya untuk menjaga kesucian diri, termasuk pada hal ini,  hal ini terutama menurutnya terdapat hadits yang menyatakan bahwa nabi pernah minum sambil berdiri yaitu ketika sedang minum air zamzam (أنّ النبي شرب من زمزم من دلو منها و هو قائم) karena itu dalam Al-Minhaj syarah muslim beliau menjadikan perintah memuntahkan bagi yang lupa sebagai sunnah. (المنهاج شرح صحيح مسلم:13/2501).
Tarjih:
Berdasarkan dalil tambahan yang dibawakan Syaikh Al-Albani bahwa jika minum sambil berdiri maka ikut minum bersamanya setan (HR.Ahmad: no. 990, Ad-Darimi:2/121) ditambah perintah Nabi untuk memuntahkan bagi yang lupa, maka istinbath Syaikh Al-Albani dalam hal ini lebih tepat. Sehingga sebagian ‘ulama mena’wili minumnya Nabi sebagai pengkhususan boleh bagi umat minum berdiri jika minum air zam-zam atau sebagian menafsirkan kekhususan bagi Nabi tidak bagi umatnya.
~        فى  الإجتهاد و الفتوى (dalam ijtihad dan fatwa)
/  dalam kategori fatwa
~        fatwa berdasarkan  fiqh, kehati-hatian (الإحتياط) dan (الحزم) kemantapan
1)      diriwayatkan oleh Al-Kurdary bahwa “Seseorang datang kepada Imam Abu Hanifah kemudian berkata ‘Aku tidak tahu apakah aku telah mentalaq istriku atau tidak’ maka Abu Hanifah menjawab: ‘tidak apa-apa atasmu, hingga engkau yakin telah mentalaqnya” (berdasarkan usul fiqh ما ثبت باليقين لا يزال بالشك –[sesuatu yang diyakini tidak dapat dihilangkan oleh keraguan]) kemudian ia mendatangi Imam Ats-Tsaury, maka Ats-Tsaury berkata: ‘Tidak memadharatkan bagimu ruju’/kembali’, kemudian ia mendatangi Asy-Syuraik, maka Asy-Syuraik berkata: ‘talaqlah ia, kemudian ruju’lah kepadanya’
Kemudian ia datang ke Zufar dan menceritakan beberapa fatwa yang berbeda tersebut, lalu Zufar berkata: ‘Adapun Abu Hanifah berfatwa berdasarkan fiqh, Ats-Tsaury berdasarkan wara’ dan Syuraik berdasarkan (الحزم) keteguhan hati/kemantapan, aku kasih contoh lain, jika seseorang ragu apakah pakaiannya terkena najis atau tidak, maka Abu Hanifah berkata: ‘tidak apa-apa atasmu sebelum mengetahui kenajisannya’ dan Ats-Tsaury: ‘jika engkau mencucinya menjadi tidak apa-apa atasmu’ dan Syuraik: ‘kencingilah kemudian cucilah baju itu’” (مناقب الإمام الأعظم-الخوارزمى:2/188)
2)      Ikhtilaf antara Syaikh bin Baz dengan syaikh Ibnu Al-Utsaimin (keduanya adalah guru dengan murid) tentang menggunakan parfum yang beralkohol. Syaikh bin Baz menyatakan sebaiknya dihindari karena sekarang ini telah banyak parfum yang non alkohol (مجموع فتوى و مقالات متنوّعة:10/41), sementara syaikh Ibnu Utsaimin membolehkan, karena alkohol itu haram dikonsumsi akan tetapi zatnya tidak najis, walaupun begitu beliau pun mengakui menjauhkan diri dan meninggalkannya lebih utama (مجموع فتوى شيخ محمّد بن صالح العثيمين:11/250-260)
Tarjih:
Dalam hal ini fatwa berdasarkan fiqh dan kehati-hatian dapat kita pilah berdasarkan tingkat kemudahan, akan tetapi bukan berarti kita mencari-cari yang mudah dengan mininggalkan pendapat yang lebih kuat. Berdasarkan contoh pertama maka lebih baik berpegang pada pendapat Imam Abu Hanifah, karena fatwa tersebut benar berdasarkan qaidah ushul di samping lebih memudahkan, sedangkan untuk contoh yang kedua, maka pendapat Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al-Utsaimin (yang berfatwa berdasarkan kehati-hatian) lebih utama untuk diikuti, hal ini karena dikhawatirkan hembusan gas alkohol akan terhirup oleh hidung yang dapat masuk dalam kaidah meminum, di samping tidak ada kesulitan untuk mencari parfum yang non alkohol.
/  dalam fatwa masalah kontenporer
~        mengembalikan hukum furu’ ke ushul
Contoh: Masalah Asuransi
Menurut Afzalur Rahman dalam The doctrine of Islamic Economics jilid 3, menyatakan bahwa prinsip-prinsip dalam asuransi sesuai dengan ajaran Islam yang mengajak pada kasih sayang dan tolong menolong, atas dasar (و تعاونوا على البرّ و التّقوى ولا تعاونوا على الإثم و العدوان) ia menyatakan kehalalan asuransi dan mendukung pengembangan asuransi bagi masyarakat muslim.
Sementara syaikh Nashiruddin Al-Albaany melihat semua asuransi yang ada saat ini berjalan di atas sistem mengadu nasib/untung-untungan, yang merupakan unsur terpenting judi. Sementara sistem asuransi yang beliau anjurkan adalah yang menggunakan sistem upah / isti’jar (الحـاوي من فتوى شيخ الألبانى:415)
Tarjih:
Perbedaan pendapat keduanya terletak pada menghubungkan realita yang ada ke dalam dalil umum guna mengikat suatu masalah kemudian meningkat lagi ke dalam dalil khusus, akan tetapi dalam mengikat pada dalil umum saja perbedaan keduanya tampak jelas.
Dalam hal ini dalil yang digunakan Afzalur Rahman terlalu umum sehingga tidak bisa mengikat terlalu jauh atas kasus-kasus yang ada selain juga mengakibatkan multi tafsir, sementara dalil yang digunakan syaikh Al-Albany telah masuk ke dalil khusus, hal ini ditambah kenyataan yang membuktikan dimana sulitnya pengaduan klaim, sistem hangus atas premi yang terlambat bayar, upaya pemalsuan data dan pembakaran guna mendapatkan keuntungan dari pembayaran klaim, yang menunjukan sistem asuransi saat ini semakin menambah permusuhan antar manusia, maka ijtihad syaikh al-Albany dalam hal ini lebih mendekati kebenaran, karenanya para ilmuan muslim telah dan terus melakukan kajian yang serius guna melakukan islamisasi asuransi ini, dan ini merupakan hal yang patus disyukuri.
~        mengembangkan ushul ke furu’

J  Belajar mengetahui tanda-tanda Ijtihad yang salah
~        Jika bertentangan dengan nash-nash syar’i (Al-Quran, As-Sunnah)
Contoh:
Kesimpulan Imam Abu Hanifah bahwasanya khamr yang haram hanya dari jenis anggur. Hal ini karena bertentangan dengan hadits masyhur (كلّ مسكر حرام), begitu juga kenyataan bahwa di madinah yang biasa dijadikan khamr adalah fermentasi kurma. (تفسير ابن كثير: 1/  )
~        Jika hasil ijtihad menghendaki adanya suatu ijtihad baru, menyebabkannya berputar-putar tidak kembali kepada nash (Al-Quran dan As-Sunnah)
Contoh:
Ijtihad melafazkan niat yang merupakan istinbath dari hadits (إنّما الأعمال بالنّيات), hal ini karena mereka mengartikan (ب) dengan arti ‘dengan’ (مع) ba maiyyah. Padahal kata (ب) di situ seharusnya diartikan  ‘tergantung’ (منوط) ba sababiyyah/lita’liil, hal ini karena hadits itu berhubungan dengan orang yang hijrah karena menginginkan wanita. Karenanya penafsiran ini menghendaki ijtihad baru, yaitu bagaimana bacaan niat itu? sehingga munculah berbagai bacaan niat yang tidak dicontohkan oleh Nabi, para sahabat bahkan para Imam mazhab/muhaqqiq/fatwa ditambah tidak ada bacaan standar baik minimal maupun maksimal, bahkan para ahlul waswas melakukan pembacaan niat sambil mengangkat tangan untuk takbir dengan harus mengingat semua gerakan shalat hingga salam, jika tidak mampu dianggap tidak sah hingga mereka menghabiskan kekhusu’an hanya dalam hal ini, bukan pada shalatnya. Berkata Syaikul Islam Imam Ibnu Qoyyim: “Niat adalah keinginan dan azam atas sesuatu dan tempatnya di hati tidak berhubungan dengan lisan...” (إغاثة اللهفان:_ فقه السنّة:1/176). Bahkan jika kita konsisten dengan pembacaan niat ini, maka ketika akan membelih hewan qurban, akan bersedekah, berinfak, menafkahi istri, transaksi, tidur, makan, sumpah, janji, kafarat, nikah, thalaq dll maka harus dibuatkan masing-masing bacaan niatnya, padahal yang ada hanya do’a-do’a—karena semua aspek kehidupan muslim adalah ibadah (و ما خلقت الجنّ و الإنس إلاّ ليعبدون) di tambah hadits tersebut bersifat umum dan tidak ada pentakhsis hanya pada ibadah tertentu saja, begitu juga dengan kata (الأعمال) yang meliputi amal apa saja—yang tentu akan menjadikan agama ini jadi sulit dari yang semestinya.
~        Jika menyelisihi maqosidus syari’ah
Maqoshidusy syari’ah ditujukan pada lima perkara (sebagian ‘ulama menjadikannya 6), yaitu;
1)      memelihara dien/agama (الذارية: 56) (وما خلقت الجنّ و الإنس إلاّ ليعبدون)
2)      memelihara jiwa (البقرة: 179) (و لكم فى القصاص لحياة ...) (البقرة: 205)(ولا تقتلوا أنفسكم)
3)      memelihara akal (المائدة: 90) (... إنما الخمر و الميسير و الأنصاب و الأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه ...)
4)      memelihara keturunan (البقرة: 205) ()
5)      memelihara harta (النّساء: 29) (ياأيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلاّ أن تكون تجارةً عن تراض منكم)
6)      memelihara kehormatan (Khutbah haji wada’)
melalui pendefinisian tersebut menjadi jelas batalnya suatu amal atau ijtihad yang ditujukan bukan untuk tujuan syari’at;
contoh
/  Menikah merupakan salah satu cara yang Allah berikan dalam rangka memperoleh keturunan, dan Ia mengharamkan zina karena terdapat suatu fahisyah, maka orang yang berzina dalam rangka memperoleh keturunan merupakan suatu bentuk penghancuran terhadap syari’at, karenanya jelas kebatilannya.
/  Atau mengucapkan syahadat dengan maksud menjaga darah dan hartanya, bukan untuk mengikrarkan tauhid dengan sebenarnya, atau menyembelih bukan untuk Allah, tapi untuk sesajen, tumbal, jin yang masuk ke dalam tubuh dll, untuk lebih detail lihat (الموافقات فى أصول الشريعة:2/6-...)
Hal ini karena saat ini maqasidusy syari’ah telah disalah pergunakan oleh kelompok Islam Liberal yang kebanyakan justru berasal dari kalangan santri  sebagai upaya menghancurkan syari’at Islam.
Contoh:
Menghapusan hukuman rajam atau jilid bagi yang zina, potong tangan bagi pencuri, menurutnya hal ini telah melanggar kehormatan manusia, yang hanya dapat dilakukan manusia purba, begitu pula dengan perintah memakai jilbab menurut mereka karena cuaca arab yang panas menuntut mereka untuk menggunakan pakaian itu, karenanya ia bersifat lokal, dan sesuatu yang lokal bukanlah ajaran Islam, karena Islam universal. و العياذ بالله, sungguh ini adalah kedustaan yang nyata.
~        Jika menyelisihi ilmu dharury
Contoh:
Kesimpulan sebagian orang yang menyatakan bahwa “Seseorang yang menggunakan kondom tidak termasuk dalam kategori zina, karena terdapat suatu penghalang”. Padahal secara dhorury (ilmu yang didapat secara langsung tanpa melalui belajar) manusia mengakui secara pasti hal itu termasuk perzinahan.

الفرق بين الإجتهاد و الترجيح (Perbedaan antara ijtihad dan tarjih)
Perbedaan mendasar dalam ijtihad dan tarjih adalah dalam hal logika berfikir; jika ijtihad menggunakan logika deduktif, maka tarjih menggunakan logika induktif.

Masalah di lapangan/realita
 
 





















Akan tetapi keduanya memiliki titik temu, yaitu menggunakan proses tarjih atas berbagai dalil yang ada, perbedaannya hanya dalam hal permasalahan ijtihad diambil dari suatu praktek/perkara yang ada di lapangan / tataran kehidupan manusia yang senantiasa berkembang dan ushul/furu’ masalah tersebut telah ada dalam Kitab Allah dan sunnah rosulnya, sedang tarjih diambil dari suatu perbedaan pendapat/perdebatan ilmiah antar para ‘ulama atas suatu ketetapan hukum (ushul/furu’), karenanya secara umum seorang yang melakukan tarjih dapat juga dikatakan sebagai mujtahid.
أهمّ السبب فى اختلاف أئمّة المذهب (Penyebab terpenting ikhtilaf para Imam Mazhab)
Hal fundamental yang menyebabkan terjadinya ikhtilaf pada Imam Mazhab adalah belum terkodifikasi/ terbukukannya Al-Hadits secara maksimal, ‘ulama yang pertama kali melakukan pembukuan hadits adalah Abu Bakar bin Ibnu Hazm dan Az-Zuhri atas perintah Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, diikuti oleh Ibnu Juraij di Makah, Ibnu Ishaq dan Imam Malik di Madinah, sufyan ats-tsauri di kufah, diikuti oleh Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad, selanjutnya Imam Bukhory, Muslim (disebut juga shahihain, syaihon, muttafaq ‘alaih, keduanya kitab tershahih dalam hadits, lebih dari ribuan ‘ulama yang memberikan kesaksian akan hal ini). Lalu Imam Abu Dawud, An-Nasa’i At-Tirmidzi— ke 5 kitab hadits tersebut disebut ushulul khomsah—dan Ibnu Majah (terkenal dengan sebutan Imam yang empat jika digabungkan dengan Abu Dawud, An-Nasa’i dan At-Tirmizi karena nama kitabnya sama yaitu As-Sunan disamping tingkat kesahihan haditsnya lebih tinggi dari yang sesudahnya, disebut kutubu sittah jika digabungkan lagi dengan Bukhory Muslim) untuk Sunan Ibnu Majah, para ‘ulama masih ikhtilaf tingkat keshahihannya dengan kitab Al-Musnad karya Imam Ahmad, Al-Muwatho milik Imam Malik dan Al-Muntaqo milik Ibnu Jarud. Syaikh Ahmad syakir lebih setuju jika kutubus sittah adalah Al-Muntaqo ibnu Jarud menggantikan posisi sunan Ibnu majah, sementara Razin As-sarqasthy lebih mendukung kitab Al-Muwatho dan inilah yang dimaksud kutubus sittah oleh Ibnul Atsir dan yang lainnya lebih mendukung Al-Musnad Imam Ahmad dan sunan ad-Darimi.
Lalu diikuti oleh Imam-imam lainnya, seperti sunanul kubra milik Baihaqy, misbahus sunnah oleh Al-Baghawi,  Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, Ibnu Hibban, Ad-Daruquthni dan ath-thabrani.
Karena itulah setelah zaman pembukuan hadits, yang muncul adalah para Imam jarh wa ta’dil yang meneliti sanad/pembawa berita, muhaqqiq yang menelusuri kesahihan suatu hadits, hal ini karena mereka memandang bermazhab pada salah satu pandapat Imam tidak dibutuhkan lagi, dikarenakan berbagai masalah telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits—dalam hal ini tinggal 1 masalah lagi yang hampir dapat dirampungkan yaitu penyatuan qaidah ushul fiqh yang telah diusahakan secara maksimal oleh Imam Ibnu Qoyyim dan Imam Asy-Syathibi dalam Al-Muwaafaqat dan diikuti oleh ‘ulama mu’taakhir—karenanya yang terpenting selanjutnya adalah mentahqiq dan mentarjih pendapat-pendapat para Imam mazhab, serta melakukan ijtihad atas masalah-masalah baru yang timbul dalam kehidupan manusia. ‘ulama tahqiq inilah yang lebih patut untuk berijtihad dan melakukan fatwa.
درجة الترجيح (Tingkat kebenaran tarjih)
Suatu hasil tarjih mempunyai derajat yang berbada-beda sesuai dengan tingkat kepastian khabar yang diperoleh dari Nabi, hal ini bisa 50 : 50, artinya antara yang rajih dan marjuh mempunyai tingkat yang kekuatan yang sama, dalam hal ini maka teknik penggabungan atau tawaqquf yang dapat dilakukan ‘ulama. Nilai paling tinggi bagi suatu tarjih adalah 99 : 1, artinya 99 % kemungkinan hasil tarjih benar dan kemungkinan 1 % dalil yang dimarjuhkan benar, dan ini sangat sulit jika tidak dikatakan hampir mustahil. Karenanya walau bagaimana pun ada suatu kemungkinan kesalahan dalam tarjih, atas dasar inilah para Imam Mazhab mengakui pendapat yang lain, sebagaimana ucapan Imam Asy-Syafi’i: “Pendapatku ada benarnya tapi ada kemungkinan salahnya. Pendapat orang lain salah akan tetapi ada kemungkinan benarnya”. Hal ini harus difahami bahwa Imam Asy-Syafi’i dan imam lainnya adalah seorang mujtahid mutlaq yang telah mengerahkan segala kemampuannya dalam menghasilkan suatu kesimpulan hukum yang berbeda dengan para imam lainnya, jika para muqollid yang tidak mengetahui suatu dalil saja yakin atas kebenaran pendapatnya—padahal di atas kebodohan, karena yang dianjurkan ‘ulama adalah muttabi, mengikuti suatu pendapat dengan mengetahui dalilnya—maka seorang Mujtahid yang secara maksimal meneliti kebenaran lebih berhak lagi mengakui kebenaran pendapatnya.



تمّ بحمد الله، عفاني الله و إياّكم

COMMENTS

Name

1000+Mistikes,3,ABDUL RAHMAN BIN AUF R.A.,1,About Jesus Or Isa Al-Masih,66,Adab,13,Adab Islam,4,Akhlak,15,Akidah,40,Al-Fatihah,17,Al-Qur'an,183,Aldore Hamasiah,1,Ali Sina,3,Alkitab,126,Allah,1,Android,1,Anti Virus,1,Apology "Alkitab",14,Apology "Yesus",22,Apology Yesus,2,Apology "Kristen",6,Artikel,599,Asbabun Nuzul,15,Asus,1,Ayat,1,Biografi,1,Buku,7,Counter Faith,270,Da'wah,1,Daftar,1,Data,11,Debat,25,Download,6,Duladi,11,Ebook,10,Epistemologi,1,Facebook,18,Fadhilah,1,Fiqh,2,Fiqih,18,Forum,1,Gereja,2,Hadits,33,Haji,1,Ibadah,6,Ibrahim,2,Imam Abu Hanifah,1,Indonesiana,4,Internasional,5,Internet,1,Iran,1,Islam,211,Islam Menjawab Kristen,27,JIL,2,Jilbab,1,Ka'bah,5,Kajian,3,Kejahatan,1,Khabar Muallaf,3,Khutbah,3,Kristen,57,Kristologi,182,Kumbang,1,Kurma,1,Lenovo,1,Liberal,3,Logika,4,Masjid,1,Matematika,1,Menjawab Bacabacaquran.com,2,Menjawab Buktidansaksi.com,1,Menjawab FaihFreedom.org,55,Menjawab IsadanIslam.com,91,Menjawab Sarapanpagi.org,3,Menjawab Staff IDI,3,Movie Review,1,Muallaf,6,Muslimah,3,Muslims Say,21,Nabi Ibrahim,5,Nabi Muhammad Saw,64,Nasehat,10,NAZI,1,News,36,Opini,1,Other,1,Palestina,1,Paulus,4,Pendidikan,1,Penjajahan,1,Politik,1,Privacy Policy,1,Qiraat,1,Review Gadget,2,Robert Morey,1,Rudy Yohanes Hutogalung,13,Sahabat Nabi,1,Sains,19,Saudagar,1,Sejarah,40,SMS,1,Statstik,1,Study Penyaliban,10,Sumpah,1,Surah,1,Surga,1,Syiah,3,Tafsir,4,Tahlilan,1,Tahun Baru Masehi,1,Tanya Ustadz,1,Tauhid,2,Terompah Kayu,1,The History The Qur'anic Text,7,Thibbun Nabawi,1,Tips,1,Tokoh,1,Trik Android,1,Trik Blogger,1,Trik Tips,5,Trinitas,1,Udztad Menjawab,5,Umrah,1,Umum,2,USA,1,Ushul Fiqh,14,Ustadz Ihsan Mokoginta,10,Ustadzh Irene Handono,4,Video,16,Wanita,27,Wawancara,1,Windows,2,Yahudi,2,
ltr
item
Dakwah Agama: Beberapa Faktor Terjadinya Ikhtilaf ‘Ulama
Beberapa Faktor Terjadinya Ikhtilaf ‘Ulama
file:///C:/DOCUME~1/Desi/LOCALS~1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif
Dakwah Agama
https://dakwah-agama.blogspot.com/2014/07/beberapa-faktor-terjadinya-ikhtilaf_4.html
https://dakwah-agama.blogspot.com/
http://dakwah-agama.blogspot.com/
http://dakwah-agama.blogspot.com/2014/07/beberapa-faktor-terjadinya-ikhtilaf_4.html
true
5346183742363346555
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy