firman Allah subhanahu wata’ala : ” Tidak sesuatu pun yang serupa dengan Dia ( Allah ) , dan Dia Maha Mendengar , Maha Melihat ” ( QS. As Sy...
firman Allah subhanahu wata’ala :
” Tidak sesuatu pun yang serupa dengan Dia ( Allah ) , dan Dia Maha Mendengar , Maha Melihat ” ( QS. As Syuuraa : 11 )
Maka kalau kita menyebut Dzatullah (Dzat Allah), tidak berarti dzat di sini sama dengan ciptaan-Nya (zat cair, zat gas, Zat padat).
Sama seperti ketika kita mengatakan bahwa Allah mendengar, bukan berarti mendengar seperti makhluknya dengan indera dengar (telinga misalnya).
Kata Dzat yang disandarkan pada Allah kita ketemukan pada sabda Nabi saw, "Tafakkaruu fi khalkillah walaa tafakkarua fidzatihi" ( berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah tapi jangan berpikir mengenai DzatNya).
Berpikir tentang ciptaan Allah akan menyadarkan kita bahwa Allah itu ada; eksistensi Allah itu nyata.
Tapi jangan sampai kita berpikir tentang Dzat Allah atau sosok Allah.
Mengapa?
Kita tak akan pernah mampu. Bukankah Dia Mutlak (Absolute). Tak terbatas oleh ruang dan waktu; termasuk tak terbatas oleh alam pikiran manusia.
Sementara manusia serba relatif. Ambil contoh, mata kita hanya untuk melihat benda mati saja sudah tertipu; tongkat lurus yang tertancap di air jernih bukankah kelihatan patah?
Bagaimana mata yang relatif ini akan mampu melihat Dzatullah yang tak terbatas itu?
Maka pengetahuan kita tentang Dzat Allah tidak lain sebatas informasi yang dia berikan kepada kita: bagaimana sifatNya, apa
namaNya; apa kehendakNya, dan sebagainya. Semua itu diinformasikan Allah melalui Al-Quran dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw.
Jika kita memaksakan diri untuk "mewujudkan" sosok tuhan dalam pikiran kita, pasti akan salah. Sebab, bukankah selama ini pengetahuan kita selalu berdasar persepsi yang menyandar pada apa saja yang pernah kita lihat?
'Mengapa ada tuhan yang "diwujudkan" dengan empat tangan oleh para penganut agama pagan?
Karena sang pewujud dipengaruhi oleh persepsi mereka bahwa tuhan itu berkuasa dan kekuasaan itu, seperti gambaran kekuasaan manusia, disimbolkan dengan tangan.
Jadi, kembali lagi yang dimaksud Dzatullah adalah wujud Allah, yang wujud itu tak mungkin bisa digambarkan, atau didefinisikan oleh manusia. Kata Dzat selalu dirangkai dengan sifat Kemahaan-Nya dipakai untuk menyebut kata ganti Allah SWT Pencipta Jagat Raya.
Sedangkan hakikat Allah tidak dapat ditangkap dengan indera makhluk-Nya. Allah tidak sama dengan zat-zat yang diciptakan-Nya.
“dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (QS.Al-Ikhlas:4)
Seharusnya para kafir malu menuduh Allah itu berupa benda atau zat. Sebab dalam alkitab cetakan lama ( biasalah kitab sering diamandemen) Tuhan secara tegas digambarkan sebagai “zat”
“Maka oleh sebab kita dijadikan Allah, tiadalah patut kita menyangkakan ZAT ALLAH itu serupa dengan emas dan perak atau batu yang berukir dengan kepandaian dan akal manusia” (Kisah Para Rasul 17:29, Alkitab Terjemahan Lama, LAI Jakarta 1960)
” Tidak sesuatu pun yang serupa dengan Dia ( Allah ) , dan Dia Maha Mendengar , Maha Melihat ” ( QS. As Syuuraa : 11 )
Maka kalau kita menyebut Dzatullah (Dzat Allah), tidak berarti dzat di sini sama dengan ciptaan-Nya (zat cair, zat gas, Zat padat).
Sama seperti ketika kita mengatakan bahwa Allah mendengar, bukan berarti mendengar seperti makhluknya dengan indera dengar (telinga misalnya).
Kata Dzat yang disandarkan pada Allah kita ketemukan pada sabda Nabi saw, "Tafakkaruu fi khalkillah walaa tafakkarua fidzatihi" ( berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah tapi jangan berpikir mengenai DzatNya).
Berpikir tentang ciptaan Allah akan menyadarkan kita bahwa Allah itu ada; eksistensi Allah itu nyata.
Tapi jangan sampai kita berpikir tentang Dzat Allah atau sosok Allah.
Mengapa?
Kita tak akan pernah mampu. Bukankah Dia Mutlak (Absolute). Tak terbatas oleh ruang dan waktu; termasuk tak terbatas oleh alam pikiran manusia.
Sementara manusia serba relatif. Ambil contoh, mata kita hanya untuk melihat benda mati saja sudah tertipu; tongkat lurus yang tertancap di air jernih bukankah kelihatan patah?
Bagaimana mata yang relatif ini akan mampu melihat Dzatullah yang tak terbatas itu?
Maka pengetahuan kita tentang Dzat Allah tidak lain sebatas informasi yang dia berikan kepada kita: bagaimana sifatNya, apa
namaNya; apa kehendakNya, dan sebagainya. Semua itu diinformasikan Allah melalui Al-Quran dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw.
Jika kita memaksakan diri untuk "mewujudkan" sosok tuhan dalam pikiran kita, pasti akan salah. Sebab, bukankah selama ini pengetahuan kita selalu berdasar persepsi yang menyandar pada apa saja yang pernah kita lihat?
'Mengapa ada tuhan yang "diwujudkan" dengan empat tangan oleh para penganut agama pagan?
Karena sang pewujud dipengaruhi oleh persepsi mereka bahwa tuhan itu berkuasa dan kekuasaan itu, seperti gambaran kekuasaan manusia, disimbolkan dengan tangan.
Jadi, kembali lagi yang dimaksud Dzatullah adalah wujud Allah, yang wujud itu tak mungkin bisa digambarkan, atau didefinisikan oleh manusia. Kata Dzat selalu dirangkai dengan sifat Kemahaan-Nya dipakai untuk menyebut kata ganti Allah SWT Pencipta Jagat Raya.
Sedangkan hakikat Allah tidak dapat ditangkap dengan indera makhluk-Nya. Allah tidak sama dengan zat-zat yang diciptakan-Nya.
“dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (QS.Al-Ikhlas:4)
Seharusnya para kafir malu menuduh Allah itu berupa benda atau zat. Sebab dalam alkitab cetakan lama ( biasalah kitab sering diamandemen) Tuhan secara tegas digambarkan sebagai “zat”
“Maka oleh sebab kita dijadikan Allah, tiadalah patut kita menyangkakan ZAT ALLAH itu serupa dengan emas dan perak atau batu yang berukir dengan kepandaian dan akal manusia” (Kisah Para Rasul 17:29, Alkitab Terjemahan Lama, LAI Jakarta 1960)
Kami sangat menghargai komentar pembaca sekalian, baik saran, kritik, bantahan dan lain sebagainya.
Bagi pembaca yang ingin berkomentar silahkan untuk login dengan mengklik Login di Tombol Login komentar dan pilih akun yang ingin anda gunakan untuk Login, Bisa dengan Facebook, Twitter, Gmail dsb.
peraturan komentar:
1. komentar pendek atau panjang tidak masalah, baik lebih dari satu kolom juga tidak apa-apa.
2. komentar menggunakan bahasa indonesia dengan baik dan benar tidak berbelit-belit.
3. tidak menggunakan kata-kata kotor, hujat atau caci maki
4. langsung pada topik permasalahan
COMMENTS