Membangun spiritualisme adalah usaha melakukan refreshing mental atau ruhani berupa keyakinan, iman, ideologi, etika, dan pedoman at...
Membangun
spiritualisme adalah usaha melakukan refreshing mental atau ruhani
berupa keyakinan, iman, ideologi, etika, dan pedoman atau tuntunan. Membangun
spritualisme dapat dilakukan dengan berbagai media. Salah satunya adalah yang
membangun spiritualitas yang bersumber dari agama atau reliji, yang dinamakan
spritualisme religius. Adalah merupakan kewajiban bagi umat beragama untuk
mengembangkan, menguatkan atau membangun kembali peran spritualitas religius.
Spritualitas religius yang pada dasarnya merupakan bentuk spritualitas yang
bersumber dari ajaran Tuhan, diyakini memiliki kekuatan spiritual yang lebih
kuat, murni, suci, terarah, dan abadi dibandingkan spritualitas sekuler dengan
berbagai coraknya. Membangun spritualitas religius dengan demikian merupakan
kebutuhan untuk diwujudkan di tengah kehidupan masyarakat modern.
Dalam membangun
spiritualitas tersebut kita membutuhkan Spirirual Quateats (SQ) adalah
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang
lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lainnya.
Melalui
penggunaan kecerdasan spiritualitas religius kita lebih terlatih dan melalui
kejujuran serta amanah dalam menjalani kehidupan, orang yang bertaqwa menurut
Tasmara adalah orang yang bertanggung jawab, memegang amanah dan penuh rasa
cinta. Selain itu pada diri orang yang bertaqwa juga terdapat ciri : memiliki
visi dan misi, merasakan kehadiran Allah Swt, berzikir dan berdoa, sabar,
cenderung kepada kebaikan, memiliki empati, berjiwa besar, dan bersifat
melayani.
A.
Pengertian Spirit
Secara etimologi kata “sprit” berasal dari kata Latin “spiritus”,
yang diantaranya berarti “roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan,
nafas hidup, nyawa hidup.” Dalam
perkembangannya, selanjutnya kata spirit diartikan secara lebih luas lagi. Para
filosuf, mengonotasian “spirit” dengan
1)
Kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada
cosmos,
2)
Kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan,
keinginan, dan intelegensi,
3)
Makhluk immaterial,
4)
Wujud ideal akal pikiran (intelektualitas,
rasionalitas, moralitas, kesucian atau keilahian).
Dilihat dari bentuknya, spirit menurut Hegel, paling tidak ada tiga tipe :
subyektif, obyektif dan obsolut.
Spirit subyektif berkaitan
dengan kesadaran, pikiran, memori, dan kehendak individu sebagai akibat
pengabstraksian diri dalam relasi
sosialnya. Spirit obyektif berkaitan dengan konsep fundamental kebenaran
(right, recht), baik dalam pengertian legal maupun moral. Sementara
spirit obsolut yang dipandang Hegel sebagai tingkat tertinggi spirit-adalah
sebagai bagian dari nilai seni, agama, dan filsafat.
Secara psikologik,spirit
diartikan sebagai “soul” (ruh), suatu makhluk yang bersifat
nir-bendawi (immaterial being). Spirit juga berarti makhluk adikodrati yang
nir-bendawi. Karena itu dari perspektif psikologik, spiritualitas juga
dikaitkan dengan berbagai realitas alam pikiran dan perasaan yang bersifat
adikodrati, nir-bendawi, dan cenderung “timeless & spaceless”.
Termasuk jenis spiritualitas adalah Tuhan, jin, setan, hantu, roh-halus,
nilai-moral, nilai-estetik dan sebagainya. Spiritualitas agama (religious
spirituality, religious spiritualness) berkenaan dengan kualitas mental
(kesadaran), perasaan, moralitas, dan nilai-nilai luhur lainnya yang bersumber
dari ajaran agama. Spiritualitas agama bersifat Ilahiah, bukan bersifat
humanistik lantaran berasal dari Tuhan.
Secara garis besar, dilihat
dari sumber dan proses terjadinya spiritual atau nilai-nilai spiritual yang
diyakini dan diamalkan, paling tidak terdapat beberapa tipe. The
Encyclopedia of Religion menyebutkan tiga tipe ajaran spiritual (spiritual
discipline) yaitu :
- Pertama, spiritual heteronomy. Dalam corak spiritual ini, pencari atau pengamal spiritual cenderung menerima, memahami, meyakini atau mengamalkan acuan spiritual (nilai-nilai spiritual) yang bersumber dari otoritas luar (external authority). Pengamal ajaran spiritual heteronomik bersikap mentaati dan menerima makna dan keabsahannya dalam wujud tindakan yang submisif dalam arti tinggal menerima, meyakini dan mengamalkan saja, tanpa harus merefleksikan atau merasionalisasi makna ajarannya.
- Kedua, spiritual otonom, yakni bentuk spiritualitas yang bersumber dari hasil refleksi diri sendiri. Corak spiritual ini dihasilkan dari dalam diri sendiri dan terbebas dari otoritas luar. Spiritual otonom sesungguhnya merupakan nilai spiritual yang dihasilkan oleh proses refleksi terhadap kemahabesaran Tuhan dan ciptaannya.
- Ketiga, spiritual interaktif, yakni nilai spiritual atau spiritual yang terbentuk melalui proses interaktif antara dirinya sendiri dengan lingkungannya. Dengan demikian, corak spiritual ini bukan mutlak karena faktor internal maupun eksternal. Namun, lebih merupakan hasil dari proses dialektik antara potensi ruhaniah (mental, perasaan, dan moral) di satu pihak dengan otoritas luar dalam bentuk tradisi, folkways, dan tatanan dunia yang mengitarinya.
Bentuk-bentuk
spiritual yang berkembang juga cenderung bervariasi. William K. Mahony, mengkategorikan dua bentuk
ajaan spiritual.
- Pertama, ajaran spiritual esktatik, ajaran ini menganggap bahwa spiritual atau nilai-nilai spiritual dapat diperoleh melalui pengalaman esktatik. Yakni praktik memperoleh kegembiraan luar biasa (esktasi) dengan cara merampas (menjauhkan) diri dari bentuk kesenangan jasmani agar terbebas dari kungkungan tubuh jasmaniahnya (physical body).
- Kedua, ajaran spiritual konstraktif yang memandang bahwa untuk memperoleh nilai dan tingkat spiritualitas (maqam) tidak harus mengekslusi atau mengesampingkan realitas kesenangan hidup keseharian yang sesunguhnya.
Terlepas dari Realitas
spiritualitas yang penuh dengan paradoks, adalah merupakan kewajiban bagi umat
beragama untuk mengembangkan, menguatkan, atau menghidupkan kembali peran
spiritualiatas religius. Spiritual religius, yang pada dasarnya merupakan
bentuk spiritualitas yang bersumber dari ajaran Tuhan, diyakini memiliki
kekuatan spiritual yang lebih kuat, murni, suci, terarah, dan abadi dibanding
spiritual sekuler dengan berbagai coraknya. Pengembangan spiritualitas religius
dengan demikian merupakan hal niscaya untuk diwujudkan ditengah kehidupan
masyarakat. Terdapat beberapa pendekatan untuk mengembangkan
spiritualitas relijius :
- Pertama, melalui pendekatan teologik, yang dilakukan dengan cara melakukan elaborasi ajaran agama secara proporsional sehingga memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Dalam konteks ini, merupakan tugas ilmuwan, ulama, cendekiawan agama bekerjasama dengan para ahli untuk menyusun dan merancang pengembangan model-sistem ajaran yang selari dengan kebutuhan aktual dan konkret masyarakat itu sendiri.
- Kedua, melalui pendekatan psiko-politik yang dilakukan dengan cara membangun keteladanan nasional. Pengembangan spiritualitas religius, seperti nilai : kebersihan, kejujuran, keadilan, kesederhanaan, kepedulian, keikhlasan, cinta-kasih, dan lain-lain yang bersumber dari ajaran agama yang juga merupakan prinsip-prinsip dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan diwujudkan melalui program keteladanan nasional cenderung lebih efektif ketimbang bentuk retorika apa pun.
- Ketiga, melalui pendekatan sosio-kultural, dengan cara membangun masyarakat religius yang sebenarnya. Dalam rangka ini, pendidikan agama perlu diwujudkan dalam bentuk pelatihan-pelatihan praktis yang menekankan pada pengembangan moralitas dan akhlaqul karimah.
Penutup
Dari paparan diatas bagaimana membangun atau panguatan spritualitas,
khususnya spiritual yang bersumber dari ajaran Tuhan yang dikenal dengan
spiritual religius yang merupakan pedoman dan tuntunan yang mengarahkan umatnya
memiliki ketajaman atau kecerdasan spritualitas dalam menjalani kehidupan.
Seperti dalam al-Qur’an surat Al-ma’un: “Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama?. Maka, itulah orang yang menghardik anak
yatim. Dan tidak mendorong
memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat. (yaitu) orang
yang lalai terhadap shalatnya. Yang berbuat ria. Dan enggan (memberi) bantuan”.
COMMENTS